Dinginnya dataran tinggi kota Semarang yang berbukit-bukit nyaris tidak terasa, terbawa hawa panas Metropolitan. Pasalnya Kamis,10 November yang lalu, Sidogiri Media, bertraveling di tengah terik matahari. Dari kawasan Simpang Lima Semarang kami menyempal ke kanan melewati kantor Suara Merdeka menuju pesarean Kiai Sholeh Darat yang terletak di pemakaman Bergota. Sengaja berkunjung di waktu Zuhur, demi menghindari desakan para peziarah yang diprediksi ramai pada Kamis sore, layaknya makam-makam di Indonesia.
Bergoda merupakan komplek pemakaman umum di Randusari Semarang Selatan. Konon kawasan Bergota merupakan tanah wakaf yang diserahkan oleh Kesultanan Jogja kepada dinas tata ruang kota Semarang pada 1964. Dulu kawasan ini luasnya mencapai 70 hektar, tetapi terus tergerus dan terhimpit pembangunan yang kian bertambah di tengah-tengah barisan batu nisan. Dari bentuk batu nisan, pemakaman ini tergambar sudah ada sejak penjajahan Belanda. Terdiri dari etnis dan pemeluk agama berbeda-beda telah disemayamkan di pemakaman ini.
Siapa mengira, jika sosok Alim Ulama yang memiliki nama lengkap Syaikh Muhammad Sholeh bin Umar as-Samarani al-Jawi Asy-Syafii, juga disemayamkan di sini. Ayahnya, Kiai Umar, merupakan orang kepercayaan Pangeran Diponegoro untuk kawasan Jawa bagian utara. Beliau dilahirkan di Jepara sekitar tahun 1830 M dan meninggal di Semarang pada 28 Ramadhan 1321 H. atau 18 Desember 1903 M. Penambahan kata “Darat” pada akhir namanya disebabkan ia tinggal di daerah Darat, pesisir pantai utara Semarang, tempat mendarat pelancong yang berlayar dari luar Jawa. Kini kawasan tersebut berada di Kel. Dadapansari Kec. Semarang Utara.
Sedari kecil Kiai Sholeh sudah mengerti pentingnya sebuah pendidikan. Selain belajar berbagai ilmu pengetahuan kepada ayah kandungnya, beliau belajar kepada para ulama Nusantara. Di antaranya ialah KH. Sahid, cucu Syekh Ahmad Mutakin Pati, Raden Shaleh bin Asnawi Kudus, Kiai Ishak Damaran, Kiai Abu Abdillah Muhammad Hadi ibn Baquni, Ahmad Bafaqih Ba’alawi dan Syekh Abdul Ghani.
Tidak pernah puas, terus haus ilmu begitulah gambaran singkat dari sosok Kiai Sholeh. Beliau juga nyantri di langgar yang didirikan sejak abad ke 17 di Darat Semarang. Yang membuatnya diambil menantu oleh Kiai Murtadha, pengasuh langgar tersebut –yang kini sudah dipugar menjadi Masjid Kiai Sholeh Darat.
Setelah menikah, Kiai Sholeh merantau ke Makkah. Di Tanah Haram beliau berguru kepada ulama-ulama besar, antara lain Syekh Muhammad al-Muqri, Syekh Muhammad Sulaiman Hasbullah al-Makki, Sayid Ahmad Zaini Dahlan, Syekh Ahmad Nahrawi, Sayid Abdurrahman Az-Zawawi, Syekh Jamal mufti Hanafi dan Syekh Yusuf al-Misri. Berkat kecerdasan dan kealimannya, akhirnya Mbah Sholeh mendapat ijazah dari beberapa gurunya untuk mengajar di Makkah.
Pada akhir abad ke 19, Kepolisian Jedah mendapatkan informasi bahwa seorang ulama dari Jawa bernama Sholeh mengirim surat kepada kekhalifahan Turki agar ikut mengintervensi pemerintah kolonial Belanda yang menjajah Nusantara. Dari sinilah senjarah mencacat, Ia sudah menabuh genderang perlawanan terhadap pemerintah kolonial sejak di Tanah Haram.
Sepulang ke tanah air, Ia semakin sadar bangsanya sedang ditindas oleh penjajah. Melalui pesantren dan karya tulisnya, Ia melakukan proses penyadaran terhadap masyarakat awam agar berjibaku menumpas penjajahan dari Ibu Pertiwi. Kesadaran kritis atas realitas kebangsaan, sehingga menumbuhkan jiwa-jiwa patriot dan nasionalis di hati para santrinya.
Salah satu santri Kiai Sholeh ialah Ahmad Dahlan, Pendiri Muhammadiyah dan Hasyim Asy’ari, Pendiri Nahdhatul Ulama, yang berhasil memobilisasi masyarakat Jawa Timur dengan seruan Resolusi Jihad, membangkitkan perjuangan Arek-Arek Suroboyo yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Bahkan jiwa patriot yang mengakar kuat dalam diri RA. Kartini, juga tak lepas dari peran Kiai Sholeh yang menjadi salah seorang yang menginspirasi. Hal ini ditandai dengan terbitnya buku Habis Gelap Terbilah Terang yang terilhami dari ayat suci “Minazh-Zhulumati ilan-Nur.”
“RA. Kartini diawali ketika Mbah Sholeh Darat mengisi pengajian bulanan di rumah Bupati Demak yang merupakan paman RA. Kartini,” tukas Miftahul Umam, Mahasiswa UIN Wali Songo Semarang.
Dari balik tabir, Kartini terkesima dengan tafsir al-Fatihah dengan menggunakan bahasa Jawa sehingga Kartini mengerti. Kartini mendesak pamannya untuk mempertemukan dirinya dengan Kiai Sholeh. Setelah bertemu, kepada beliau, Raden Ayu meminta agar al-Quran diterjemahkan. Padahal ketika itu Belanda melarang keras adanya menerjemahan al-Quran.
Baca Juga: Gua Akbar dari Markas Berandal, Menjadi Markas Ulama
Belanda sadar bahwa jika bangsa ini memahami ajaran Islam dengan luas dan mengerti kandungan al-Quran bisa membangkitkan nasionalisme di hati para pembacanya, sehingga menyulitkan kolonial Belanda dalam menguasai kekayaan negeri ini.
Kiai Sholeh tercatat sebagai orang Indonesia pertama yang berani menerjemakan al-Quran. Untuk mengelabui Belanda, beliau menuliskan terjemah tersebut ke dalam bahasa Jawa pegon, sehingga dikira tulisan tersebut berbahasa Arab. Kitab tafsir pertama dalam Arab Pegon ini diberi nama Faidhur-Rahman. Kitab tersebut dijadikan kado pernikah RA. Kartini dengan Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat, Bupati Rembang.
Karya Kiai Sholeh ditengarai sekitar 40 judul kitab. Namun, hanya tersisa beberapa saja yang masih terjaga sampai sekarang di Indonesia. Lantaran karya-karya beliau juga banyak dirampas oleh Belanda. Infonya, kitab beliau tersimpan di Museum Belanda dan Inggris. Banyak mahasiswa Indonesia yang kuliah di sana, mengkajinya sebagai bahan disertasi. Di antara karya beliau ada berjudul Minhatul-Atqiya’, Kitab Munjiyat, Lathaifuth-Thaharah, Majmuatusy-Syariah, dan Matan al-Hikam Sementara terjemahan kitab Jauharut-Tauhid dari tangan terampilnya sampai saat ini masih tersimpan di Museum Masjid Agung Jawa tengah.
“Katanya sejak tahun 1955, haul Mbah Sholeh rutin diperingati setiap 10 Syawal. Walaupun sebenarnya tanggal wafatnya adalah 28 Ramadhan,” pukas Umam, menjelaskan banner haul yang sengaja tidak dilepas oleh panitia.
Muh Kurdi Arifin/sidogiri