Sudah barang tentu, keharmonisan sebuah rumah tangga bukanlah hasil dari kesempurnaan pasangan. Sebaliknya, keharmonisan terwujud karena setiap elemen saling melengkapi kekurangan dan bekerja sama dalam segala situasi dan kondisi. Meskipun menginginkan hubungan yang lancar tanpa rintangan adalah hal yang wajar, namun hal tersebut seringkali sulit dicapai dan seakan seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Rumitnya problematika dalam kehidupan rumah tangga kadang sulit dipahami oleh sebagian orang. Konflik yang timbul antara suami dan istri sering berakhir dengan ketidakharmonisan dan menjadi beban yang sulit diatasi. Apalagi, perbedaan pendapat terkait keharmonisan rumah tangga yang sudah ada sejak awal semakin menyulitkan pencarian kata sepakat, yaitu “saling memahami”.
Oleh karena itu, teladan yang diberikan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam membangun rumah tangga menjadi sangat penting untuk dijadikan pedoman. Bagaimana beliau menanamkan benih cinta sehingga kemesraan mekar, menyirami akar hubungan sehingga tumbuh kuat, dan merawat ranting-ranting rumah tangga sehingga mampu menghilangkan perbedaan yang mengikis harmoni. Beberapa teladan tersebut antara lain:
Mengokohkan Takwa
Dalam merajut rumah tangga, hal utama yang harus diperkuat adalah kualitas takwa dalam keluarga. Kekuatan takwa memiliki peran besar dalam menetralkan perbedaan dalam lingkup rumah tangga. Tidak mengherankan, Rasulullah صلى الله عليه وسلم selalu melaksanakan shalat Sunah di rumah dan mengajak istrinya untuk ikut serta. Beliau bersabda, “Jadikanlah di rumah kalian tempat pelaksanaan shalat kalian dan jangan menjadikan rumah kalian seperti kuburan” (HR. al-Bukhari). Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan dalam Fathul-Bari bahwa rumah yang tidak dijadikan tempat zikir atau ibadah sunah seperti kuburan yang tidak memberikan manfaat sama sekali. Melalui ibadah sunah di rumah, diharapkan turunnya rahmat karena dihadiri malaikat, sehingga kehidupan keluarga penuh kebahagiaan, dan benih-benih kemesraan tumbuh dengan jauh dari gangguan iblis dan setan.
Memberikan Pemahaman Tentang Agama
Pemahaman keagamaan perlu diberikan oleh kepala keluarga, baik dengan mengajari istri dan anak-anaknya langsung maupun memberi izin kepada mereka untuk belajar agama kepada ahlinya. Kepala keluarga harus mengajarkan bagaimana menjalani hidup sebagai istri, meliputi hak-hak, kewajiban-kewajiban, dan larangan-larangannya. Hal ini telah tercantum dalam Al-Quran, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah جل جلاله terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan” (QS. At-Tahrim [66]: 06).
Mempererat Kemesraan dalam Rumah Tangga
Di tengah perannya sebagai pemimpin umat Islam, Rasulullah صلى الله عليه وسلم selalu meluangkan waktunya untuk tetap bersama keluarga sesuai gilirannya. Kemesraan, kasih sayang, keharmonisan, dan nuansa romantis menjadi warna kehangatan dalam rumah tangga beliau. Tak heran jika semua istrinya selalu menanti momen bersama beliau. Rasulullah tidak jarang melakukan aktivitas keluarga dengan tangan lembutnya sendiri, seperti menjahit baju, memerah susu unta, dan kegiatan lain yang biasa dilakukan suami pada umumnya. Hal ini membantu mencegah penumpukan pekerjaan rumah tangga dan mengizinkan keterlibatan istri secara penuh. Strategi ini efektif untuk menarik perhatian istri dan memperkuat rasa kasih sayang.
Ketika terjadi kejadian yang memicu amarah dari pihak istri, Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak mudah marah dan selalu bersikap lembut. Hal ini dapat dilihat dari peristiwa haditsul-ifki (berita dusta) yang melibatkan Sayidah Aisyah. Meskipun difitnah melakukan tindakan asusila, Rasulullah صلى الله عليه وسلم tetap tenang meski hatinya mungkin merasa jengkel, hingga akhirnya Allah جل جلاله mengungkapkan fakta sebenarnya.
Tidak hanya itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلم selalu menjadi tempat sandaran bagi istri-istrinya. Ketika terjadi pertengkaran di antara istri-istri beliau, Rasulullah menjadi orang pertama yang mencoba menghibur mereka. Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah menemukan Sayidah Shafiyah menangis. Beliau pun mendekat dan bertanya, “Apa yang membuatmu menangis?”. Shafiyah menjawab, “Hafshah berkata bahwa aku anak orang Yahudi”. Beliau menjawab, “Katakan padanya, suamiku Muhammad, ayahku Harun, dan pamanku Musa”.
Contoh lainnya adalah ketika Sayidah Aisyah merasa cemburu. Saat Rasulullah berada di rumahnya, Sayidah Zainab mengirim pembantunya untuk mengantar makanan. Melihat hal tersebut, Sayidah Aisyah merasa cemburu dan membatin, tetapi Rasulullah yang ada di sampingnya hanya tersenyum dan mengumpulkan makanan yang berceceran, lalu dengan ramah mengajak Sayidah Aisyah untuk memakannya dengan reaksi yang penuh gurau.
Selain itu, guna memperkuat kemesraan di dalam keluarga, Rasulullah صلى الله عليه وسلم sering memanggil para istrinya dengan panggilan mesra, seperti panggilan “Humairah” (yang pipinya merona) untuk Sayidah Aisyah. Tidak hanya itu, beliau sering kali makan bersama istrinya dalam satu wadah. Meskipun terlihat sederhana, tindakan ini sangat efektif untuk mempererat kemesraan dalam keluarga.
Dengan demikian, teladan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam membangun dan menjaga keharmonisan rumah tangga menjadi pedoman berharga. Melalui kualitas takwa, pemahaman agama yang baik, dan usaha nyata dalam mempererat ikatan kemesraan, beliau menunjukkan bahwa kesuksesan dalam rumah tangga dapat dicapai dengan tindakan nyata dan kesabaran.
Sebagai penutup, semoga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran dari teladan Rasulullah صلى الله عليه وسلم dalam membangun dan menjaga keharmonisan rumah tangga. Dengan menerapkan nilai-nilai yang beliau ajarkan, diharapkan setiap rumah tangga dapat menjadi tempat yang penuh kasih sayang, keharmonisan, dan kebahagiaan.
Ach. Shofwan Halim/sidogiri