Berjabat tangan atau mushafahah adalah bagian dari syariah Islam. Terdapat beberapa hadis yang dijadikan landasan atas kesunahan berjabatan tangan, khususnya saat dua orang Muslim bertemu. Hanya kemudian, berjabat tangan banyak juga dilakukan setelah salam dalam shalat, sebelum pembacaan wirid. Bagaimana fikih memandang hal tersebut?

Sebelum lebih jauh membahas hukum berjabat tangan setelah shalat, ada baiknya mengenal apa yang dimaksud mushafahah, sebab yang muncul di masyarakat cukup beragam caranya, seperti denga satu tangan, dua tangan hingga hanya mempertemukan ujung jari-jari.

Landasan utama kesunahan berjabat tangan adalah riwayat dari Sahabat al-Bara’ bin ‘Azib bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا مِنْ مُسْلِمَيْنِ يَلْتَقِيَانِ فَيَتَصَافَحَانِ إِلاَّ غُفِرَ لَهُمَا قَبْلَ أَنْ يَفْتَرِقَا

” Tidaklah dua muslim itu bertemu lantas berjabat tangan melainkan akan diampuni dosa di antara keduanya sebelum berpisah.” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah, Tirmidzi)

Dari hadis ini, jelas bahwa berjabat tangan saat bertemu seseorang ada tuntunannya dan bahkan terdapat keutamaan, yaitu akan diampuni dosa. Ketika kita bertemu dengan seseorang, lalu berjabat tangan, merupakan tindakan yang bernilai baik. Tentunya juga yang sejenis, lelaki sama lelaki atau perempuan dengan perempuan, atau silang jenis yang semahram.

Lantas bagaimana cara berjabat tangan yang benar? Dalam kitab Tuhfah al-Ahwadzi Syarh Sunan at-Tirmidzi (7:32) disebutkan cara berjabat tangan adalah dengan saling menempelkan telapak tangan, ilshaq shafh al-kaffi bi shafh al-kaffi. Kemudian, apakah dengan dua tangan sekaligus atau cukup satu? Dalam kitab yang sama disebutkan demikian:

فالمصافحة المسنونة إما أن تكون باليد الواحدة من الجانبين أو باليدين وعلى كلا التقديرين المطلوب ثابت

Artinya, berjabat tangan yang disunahkan adalanya dengan satu tangan dari dua sisi atau dua tangan. Dua cara ini sama-sama dengan tetapkan. Hanya kemudian, bagaimana jika dengan dua tangan? Terusan dari ta’bir ini disebutkan demikian:

أما على التقدير الأول فظاهر ، وأما على التقدير الثاني فإن كانت بإلصاق صفح كف اليمنى بصفح كف اليمنى وبإلصاق صفح كف اليسرى بصفح كف اليسرى على صورة المقراض فعلى هذا تكون مصافحتان ونحن مأمورون بمصافحة واحدة لا بمصافحتين

Untuk yang satu tangan, sudah jelas caranya, adapun dengan dua tangan, jika dengan cara menempelkan telapak tangan kanan dengan telapak tangan, sementara telapak tangan kiri ditempekan dengan telapak tangan kiri, menyilang, berarti cara ini telah melakukan dua jabat tangan, sementara kita hanya diperintahkan untuk berjabat tangan satu, tidak dua.

Kelanjutan dari ta’bir ini, menjelaskan berjabat tangan dengan dua telapak tangan, tapi dengan saling menempelkan dua telapak tangan kanan, sementara telapak tangan kiri ditempelkan pada punggung telapak tangan kanan. Untuk hal ini, yang dinilai sunnah adalah penempelan dua telapak tangan kanan, sementara penempelan telapak tangan kiri pada punggung tangan kanan tidak dianggap mushafahah. Berikut redaksinya:

وإن كانت بإلصاق صفح كف اليمنى بصفح كف اليمنى وإلصاق صفح كف اليسرى بظهر كف اليمنى من الجانبين فالمصافحة هي إلصاق صفح كف اليمنى بصفح كف اليمنى ولا عبرة لإلصاق صفح كف اليسرى بظهر كف اليمنى لأنه خارج عن حقيقة المصافحة

Artinya, ada dua cara dalam mushafahah; (1) saling menempelkan dua telapak tangan kanan, dengan menggenggam erat. (2) saling menempelkan telapak tangan kanan, sementara telapak tangan kiri ditempelkan ke punggung tangan kanan.

Hal ini tentunya tidak memasukkan berjabat tangan dengan hanya mempertemukan pucuk jari-jari, sebagaimana yang terjadi di sebagian masyarakat. Dalam hadis riwayat Imam Baihaki disebutkan bahwa saat Rasulullah berjabat tangan, beliau tidak melepas tangannya hingga lawan jabat tangan melepasnya.

عَن أَنَسٍ ، قال : ما رئي رسول الله صلى الله عليه وسلم مقدم ركبته بين جليس له قط ، ولا صافح رجلاً فنزع يده من يده حتى يكون الرجل هو الذي ينزعها.

Berjabat tangan seperti itu disunahkan saat bertemu, di mana saja dan kapan pun sesuai dengan kumuman hadis di atas. Pertemuan di masjid, sebelum atau setelah shalat, semuanya termasuk benilai baik. Hanya kemudian, bagaimana kalau dilakukan sehabis shalat?

Berjabat tangan sehabis shalat berjamaah ini sering kita temukan di masyarakat. Satu sama lain berjabat tangan, sehabis salam dan sebelum berdzikir dan doa. Hal ini menjadi pertanyaan dalam fikih, apakah itu sesuai dengan tuntunan? Sebagian orang menganggap itu amalan illegal dengan landasan telah memasukkan amalan di luar shalat, lantas bagaimana ulama fikih menilainya?

Imam an-Nawawi, menyikapi jabat tangan setelah shalat termasuk bid’ah yang diperbolehkan (bid’ah al-mubahah), bahkan disunahkan bila bertujuan untuk silaturahmi. Dalam kumpulan fatwanya, Fatawa Al-Imam An-Nawawi, ia mengatakan:

المصافحة سنة عند التلاقي، وأما تخصيص الناس لها بعد هاتين الصلاتين فمعدود في البدع المباحة والمختار أنه إن كان هذا الشخص قد اجتمع هو وهو قبل الصلاة فهو بدعة مباحة كما قيل، وإن كانا لم يجتمعا فهو مستحب، لأنه ابتداء اللقاء إهــ

” Jabat tangan adalah sunah ketika bertemu. Adapun kebiasaan masyarakat yang mengkhususkan salaman setelah dua shalat (subuh dan ashar) tergolong bid’ah yang diperbolehkan. Dikatakan bid’ah mubah jika orang yang bersalaman sudah bertemu sebelum shalat. Namun, jika belum bertemu, maka berjabat tangan disunahkan karena termasuk bagian dari silaturahmi.”

Dalam Bughiyah al-Mustarsyidin juga dikemukakan demikian, dari pandangan Syaikh Izuddin bin Abdis Salam. Demikian redaksinya:

(فائدة) المصافحة المعتدة بعد صلاتي الصبح والعصر لا أصل لها، وذكر أبن عبد السلام أنها من البدع المباحة أو استحسنه النووي، وينبغي التفصيل بين من كان معه قبل الصلاة فمباحة، ومن لم يكن معه فمستحبة، إذ هي سنة عند اللقاء إجماعا.

Berjabat tangan yang biasa dilakukan setelah shalat Shubuh dan Ashar tidak memiliki dasarnya (dalam rangkaian shalat). Ibn ‘Abdis Salam menyebut bahwa hal itu merupakan bagian dari bid’ah yang diperbolehkan atau dinilai baik oleh Imam Nawawi. Sebainya, untuk hal ini perlu dirinci, antara orang yang sebelum shalat sudah bertemu yang berhukum mubah. Adapun bagi orang yang tidak bertemu sebelumnya, tentunya berhukum sunah berjabat tangan, karena mushafahah berhukum sunah saat bertemu, sesuai dengan ijma’ ulama.

Dengan demikian, berjabat tangan sehabis shalat adalah mubah, dan bahkan bisa tetap sunah. Hukum mubah ini karena memang kesunahan berjabat tangan diberlakukan saat bertemu. Jika sudah bertemu sebelumnya, tentu hukum sunah sudah gugur. Oleh karena itu, hukum mubah ini berlaku saat sebelum shalat memang sudah bertemu. Jika belum bertemu, hukum sunah masih berlaku, sebab liqa’ atau pertemuannya berarti setelah salam.

Hanya kemudian, sorotannya ada pada tindakan yang dilakukan sehabis shalat. Inilah yang dinilai bid’ah, karena bergandengan dengan ibadah shalat. Namun demikian, bid’ah dimaksud bukan tercela atau madzmumah, melainkan mubahah. Itupun tidak bisa dipukul rata, sebagaimana rincian dari Imam Nawawi, berjabat tangan selesai shalat bisa sunnah jika tidak pernah bertemu sebelumnya. Wallahu A’lam.

M. Masyhuri Mochtar/sidogiri

Baca juga: Simalakama ‘Mengesakan Istri’!!!

Baca juga: Mana Lebih Utama, Jabat Tangan Dengan Satu Atau Dua Tangan?

Baca juga: Girangnya Penjual Donat ini Bisa Berjabat Tangan

Spread the love