Islam adalah jalan terang dengan kelengkapan petunjuk, rambu-rambu, dan aturan-aturan yang ada di dalamnya. Maka siapapun yang melalui jalan itu dengan memperhatikan petunjuk, rambu-rambu dan aturan-aturannya, pasti akan sampai pada tujuan dengan selamat.

Prinsip-prinsip pokok dalam Islam telah jelas bagi siapapun, termasuk bagi mereka yang paling awam sekalipun, sehingga aspek-aspek ini disebut sebagai al-ma‘lûm minad-dîn bidh-dharûrah. Sumber-sumber Islam dan otoritas hukum-hukumnya juga jelas, dan setiap individu umat bisa menempatkan diri mereka masing-masing sesuai dengan petunjuk agama. Karena itu dalam sepanjang sejarah, kalangan awam selalu merujuk pada penjelasan para ulama.

Itulah yang membikin segenap aspek dalam agama Islam, mulai dari akidah, syariah hingga akhlak, terus hidup di tengah-tengah umat hingga saat ini, dijalankan sebagai panduan hidup dan bahkan sebagai gaya hidup, pada saat ketika agama-agama yang lain hanya tinggal simboldan namanya saja, jauh dari penerapan total oleh para pemeluknya dalam kehidupan nyata mereka.

Baca Juga: Mengikis Habis Fanatisme

Karena itu, ketika hari ini terjadi suatu kasus, misalnya ada seseorang atau suatu kalangan yang mengatakan minuman keras itu halal, atau babi itu halal, atau LGBT itu halal, atau hubungan suami-istri di luar nikah itu halal, atau pikiran-pikiran lain yang bertentangan dengan ketetapan baku dalam Islam, maka umat akan kompak menyuarakan satu pendapat menolak pandangan itu, dan tidak ragu untuk mengecam pelakunya.

Hal demikian, sekali lagi, karena Islam adalah agama dengan pondasi yang kuat dan aturan yang tegas lagi jelas, dan semua itu telah diketahui dan dipahami oleh seluruh umat, sehingga umat Islam ini adalah umat yang terjaga, di mana tidak mungkin mereka akan tersesat secara massal, atau bersepakat terhadap kebatilan, yang menyebabkan ajaran Islam jadi kabur dan umat menjadi rusak.

Namun demikian, tetap ada celah lain di mana sangat mungkin terjadi kerusakan dalam diri umat, kendati ajaran agama masih jelas bagi masing-masing dari mereka. Celah itu antara lain adalah sikap fanatisme, baik fanatik tokoh, golongan, madzhab, maupun organisasi. Bagaimana pun harus dikatakan, bahwa sikap fanatik akan mengesampingkan nalar ilmiah, data-data valid, dan petunjuk yang jelas, karena akal orang fanatik telah terhalang oleh sifat fanatismenya.

Baca Juga: Bahaya Virus Fanatisme

Maka, dalam kasus paling mutakhir, di mana ada sorang penceramah menarasikan cerita-cerita yang tidak pantas untuk Baginda Nabi , dengan mengatakan rembes, tidak terurus, yang boleh jadi kalau di situ ada pohon jambu dia juga akan mencuri jambu itu, tentu semua orang memahami jika kata-kata itu secara tegas merupakan penggambaran yang merendahkan terhadap kemuliaan Baginda Nabi , baik pengucapnya sadar atau tidak.

Jadi poinnya di sini adalah, setiap umat Islam yang mendengar perkataan itu, pasti paham bahwa kata-kata itu tidak pantas dialamatkan kepada Nabi e, karena Nabi jelas tidak seperti itu. Maka semua orang pasti memahami, bahwa dengan demikian perkataan itu bermakna menistakan Baginda Nabi , terlepas apakah kemudian menyesali dan minta maaf atau tidak.

Lalu, hal apakah yang membikin ada sebagian orang dari umat Islam yang justru menganggap perkataan itu tidak merendahkan martabat Nabi , malah masih perlu mencarikan dalil dari perut kitab-kitab, meski kemudian dalil itu jauh dari sasaran, dan parahnya lagi malah membikin gerakan dukungan terhadap orang yang telah mengeluarkan kata-kata penistaan terhadap Baginda Nabi itu? Jawabannya tak adalah lain selain fanatisme!

Spread the love