Khilafah adalah diskursus lama yang tak kunjung selesai dibicarakan hingga saat ini, bahkan setelah organisasi yang menahbiskan diri sebagai pengusung khilafah itu telah resmi dibubarkan oleh pemerintah. Setidaknya, ada dua penyebab utama yang melatarbelakangi hal ini; pertama adalah gagal paham, kedua adalah adanya kepentingan. Mari kita diskusikan dua hal ini lebih lanjut.
Namun sebelum membahas gagal paham khilafah, penulis hendak meluruskan bahwa khilafah yang akan kita diskusikan di sini bukan khilafah yang diusung oleh Hizbut Tahrir atau ISIS, yang keberadaan mereka jelas telah kita tolak. Karena bagaimanapun, Hizbut Tahrir membangun konsep khilafah disertai adanya kebengkokan dalam akidah mereka, dan pemahaman serta penerapan yang berbeda dengan Ahlusunah wal-Jamaah soal khilafah itu sendiri. Jadi, lupakan khilafah versi Hizbut Tahrir ketika Anda membaca tulisan ini.
Khilafah yang kita maksudkan di sini adalah sistem pemerintahan yang menggunakan landasan-landasan dan hukum-hukum Islam, sebagaimana telah berlangsung sepanjang sejarah kekhilafahan Islam selama lebih dari seribu tahun. Mengatakan bahwa sistem khilafah seperti itu tidak bisa mengakomodir kemajemukan adalah omong kosong, karena selama lebih dari seribu tahun, pemerintahan Islam tidak hanya mengatur masyarakat Islam, akan tetapi membawahi semua penduduk negeri dengan berbagai latar belakang, keberagaman ras, suku, agama, bahasa, dan budaya. Ketika dunia Barat belum bisa menggambarkan bagaimana mungkin mereka bisa hidup dengan manusia yang berbeda agama, umat Islam di bawah kekhilafahan tidak memiliki masalah apapun dengan hal itu, dan para pemeluk agama-agama hidup berdampingan di bawah naungan khilafah Islam.
Baca Juga: Universalitas Makna Khilafah
Dari perspektif lain, mengatakan bahwa sistem khilafah tak bisa kita pakai pada hari ini karena sudah kuno, sehingga tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat modern saat ini, justru alasan itu tidak relevan dan kontraproduktif, mengingat sistem demokrasi yang kita pakai hari ini malah jauh lebih kuno lagi, karena merupakan warisan para filsuf Yunani kuno. Jadi khilafah seharusnya jauh lebih modern, sebab ia muncul belakangan, telah diterapkan lebih dari seribu tahun terakhir, dan baru berakhir sekitar seratus tahun silam.
Karena semua alasan tadi sulit dicerna oleh akal, maka ada baiknya di sini penulis membantu memberikan jawaban yang logis dari perspektif Islam, kenapa kita di Indonesia hari ini tidak memakai khilafah? Jawabannya sederhana, yaitu soal kompromi politik. Itu saja. Jadi bukan karena ia tak bisa dipakai, tidak bisa mengakomodir kemajemukan, atau karena sudah kadaluarsa. Karena berhubung mayoritas umat Islam di Indonesia ini adalah Ahlusunah wal-Jamaah, maka mereka memiliki paham yang fleksibel soal kepemimpinan dalam Islam (khilafah).
Bagi Ahlusunah wal-Jamaah, inti dari khilafah adalah kepemimpinan bagi umat Islam. Sehingga kewajiban menegakkan khilafah itu artinya adalah umat Islam wajib mengangkat pemimpin bagi mereka, yang bertugas mengatur umat dengan aturan-aturan Islam. Lalu bagaimana jika di suatu negeri sudah ada pemimpinnya? Maka, dalam paham Ahlusunah wal-Jamaah, umat Islam sudah tidak berkewajiban mengangkat pemimpin lagi. Kewajiban tadi sudah gugur, karena kewajiban mengangkat pemimpin bersifat kewajiban kolektif. Bahkan, dalam paham Ahlusunah wal-Jamaah, jika di tengah umat Islam sudah ada pemimpin, maka tidak boleh bagi umat mengangkat pemimpin tandingan, dan itu dikategorikan sebagai pembangkang, yang oleh pemerintah bisa diberantas.
Tapi bagaimana jika pemimpin yang sudah ada itu ternyata tidak sesuai dengan kriteria ideal menurut sistem khilafah? Maka dalam paham Ahlusunah wal-Jamaah, pemimpin tidak ideal pun, jika itu sudah disepakati oleh segenap kalangan, juga tidak masalah. Karena mengkudeta pemimpin yang tidak ideal itu konsekuensinya jauh lebih berat dan lebih parah ketimbang membiarkannya berkuasa. Itulah sebabnya pemimpin umat Islam yang tak ideal menurut Islam, dikategorikan sebagai imam dharurah bisy-syaukah, yang berarti ia memegang kekuasaan karena darurat saja. Di Indonesia sendiri, sejak presiden pertama hingga yang saat ini masuk dalam kategori darurat ini, karena belum ada yang ideal menurut Islam.
Baca Juga: Stereotip Khilafah Di Pusaran Demokrasi
Jadi intinya, umat Islam Ahlusunah wal-Jamaah bisa berkompromi secara politis dengan pemimpin dan pemerintahan yang tak sesuai dengan idealisme kepemimpinan dalam Islam, sehingga mereka tak perlu khawatir dengan “khilafah” yang diajarkan di pesantren-pesantren. Tak akan ada umat Islam Ahlusunah wal-Jamaah, dengan berbagai ormas dan golongannya, yang akan berusaha menggulingkan pemerintahan yang sah, dan mereka bisa bisa berkompromi dengan memperjuangkan aspirasi mereka melalui jalur-jalur yang legal menurut negara; melalui pemilu, menyampaikan aspirasi via para wakil rakyat, dan semacamnya.
Maka, jika hari ini Kementerian Agama Republik Indonesia bersikukuh menghapus pelajaran soal khilafah dan jihad di madrasah-madrasah Islam, itu hanya menunjukkan jika mereka masih gagal paham soal khilafah, mengira bahwa khilafah yang diajarkan di situ tak ada bedanya dengan ISIS. Kebijakan yang berangkat dari gagal paham seperti ini akibat buruknya sangat fatal dan sulit ditoleransi. Karena jika khilafah yang dipelajari oleh mayoritas umat Islam di Indonesia (Ahlusunah wal-Jamaah) adalah khilafah versi ISIS, maka penulis yakin sejak dahulu Indonesia tak akan pernah sedamai ini, atau bahkan sulit dibayangkan akan ada negara bernama Indonesia.
Jadi menalar secara normal perihal khilafah seperti ini sebenarnya merupakan perkara yang sangat sederhana dan mudah. Tapi kenapa pemerintah seperti kesulitan memahami persoalan ini dengan jernih, sehingga di tengah tumpukan problem ekonomi, keadilan, kesejahteraan, kesehatan, dan lain-lain, mereka justru sibuk bicara soal khilafah, jihad, radikal radikul, yang tak ketemu ujung-pangkalnya? Tak heran banyak pengamat menilai tingkah pemerintah itu hanya karena kepentingan, entah itu kepentingan golongan dan partai, kepentingan asing, atau minimal kepentingan untuk menutupi kegagalan mereka mengatasi megaproblem yang tengah dihadapi bangsa.
Wallahu a‘lam.
Moh. Achyat Ahmad / sidogiri