Sulit dan mudah adalah dua hal yang antonim dan keduanya pasti terjadi pada setiap manusia; kalau tidak sulit ya mudah. Ketika disuruh memilih antara sulit dan mudah, seseorang pasti memilih mudah. Dari itulah, setiap orang selalu mencari kemudahan dalam segala hal, sehingga kemudahan menjadi nilai tawar yang tinggi dalam bisnis modern.
Kemudahan bukan berarti ada pada kata diam, “tidak melakukan apa pun”. Orang diam, tanpa ada aksi sekalipun, tidak serta merta disebut mudah. Tidak ada perintah melakukan apa pun, bukan itu yang dimaksud dengan mudah, karena mudah berbanding dengan kata “sulit” yang berarti ada aksi.
Kemudahan juga bukan berarti kebebasan melakukan apa saja, hanya karena menganggap itu adalah tindakan paling mudah di dunia. Dengan maksud lain, kemudahan merupakan tururan dari pekerjaan yang sulit dilaksanakan, bukan dengan tidak melakukan apa pun yang dinilai mudah. Dengan demikian, kemudahan dan kesulitan itu erat kaitannya dengan aksi, bukan berarti sebuah kebebasan dengan tidak melakukan apa pun.
Termasuk dalam pemberlakuan syariat Islam kepada hamba-Nya. Ketika seseorang telah mengikrarkan diri sebagai hamba yang mengakui bahwa Allah sebagai tuhan dan Nabi Muhammad sebagai utusan Allah melalui syahadat, berarti ia juga siap melaksanakan empat rukun Islam selanjutnya. Tidak hanya itu, syariat yang diturunkan melalui Nabi Muhammad harus diperhatikan, baik perintah atau larangan untuk dikerjakan.
Memperhatikan perintah agama ini, saat mengalami kendala dan seorang Muslim merasa kesulitan untuk melaksanakannya secara sempurna maka kemudahan menjadi jalan dalam mengerjakannya. Bukan meninggalkan, melainkan menjalankan, tetapi dengan keringanan dalam mengerjakan, karena secara bahasa rukhshah berarti izin pengurangan atau keringanan. Dalam ilmu Ushul Fikih diartikan:
الحكم الثابت على خلاف الدليل لعذر
“Ketetapan hukum berbeda dengan dalil karena ada udzur”
Jika diperhatikan secara seksama, setiap syariat dalam Islam, terkhusus dalam ibadah, memang disediakan kemudahan-kemudahan dalam menjalankannya, bahkan kemudahan menjadi salah satu prinsip yang amat penting. Dalam ibadah shalat, puasa, zakat hingga haji, cara mengerjakannya tidak kaku, sehingga harus sesuai dengan apa yang digariskan. Ketika dalam situasi yang sulit, kemudahan menjalannya terbuka luas. Inilah yang dimaksud agama itu mudah.
Kesulitan dalam melaksanakan perintah atau menjauhi larangan, memang menjadi salah satu inti penting syariah. Dalam ilmu kaidah fikih, hal yang berkaitan dengan kesulitan ini masuk di antara lima kaidah kulliyah, yakni kaidah
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan dapat menarik kemudahan”
Dengan demikian, kemudahan adalah anugerah dari Allah yang diberikan kepada hamba-Nya yang terus semangat dalam menjalankan ajaran agama. Dalam al-Qur’an saat menyinggung perintah puasa, misalnya, menyebutkan demikian:
يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagi kalian, dan Dia tidak menghendaki kesulitan bagi kalian.”
Ini berarti bahwa kemudahan dalam menjalankan ajaran Islam menjadi prinsip. Dalam sebuah hadis, Rasulullah juga menyebut sebuah perintah yang harus dijalankan semampunya, berbeda dengan larangan.
فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ
“Ketika aku perintahkan kalian (mengerjakan) sesuatu, kerjakan semampu kalian, dan jika aku melarang sesuatu, kalian tinggalkan.”
Kata ma istatha’tum berarti ada keringanan saat seseorang merasa tidak mampu dan sulit untuk mengerjakan secara sempurna sesuai dengan asal sebuah perintah. Sekadar contoh, bersuci dalam kondisi normal harus dilakukan dengan air. Akan tetapi, dalam kondisi sulit, bersuci dapat dilakukan dengan tayamum. Dalam kondisi normal, shalat yang mengharuskan seseorang berdiri, tapi ketika tidak mampu, duduk menjadi alternatif, bahkan tidur miring dan terlentang. Begitu juga disediakan kemudahan dalam ibadah puasa, haji, dan seterusnya.
Terdapat sejumlah dalil yang dapat dijadikan dasar prinsip kemudahan dalam menjalankan syariat Islam. Beberapa dalil itulah yang kemudian oleh ulama fikih dijadikan dasar untuk menghukumi beberapa hal untuk memberlakukan rukhshah ketika terjadi masyaqqah. Kemudian, semua furu’ fikih yang berkaitan dengan masyaqqah ini, diformulasikan ke dalam sebuah kaidah fikih di atas:
المشقة تجلب التيسير
“Kesulitan dapat menarik kemudahan”.
Meskipun disediakan banyak kemudahan dalam menjalankan syariat, bukan berarti semua itu berlaku gratis yang menjadi pilihan utama. Kemudahan dalam syariat menuntut persyaratan dan kondisinya sendiri. Syarat ini pun harus sesuai dengan dalil agama, bukan berdasarkan kemauan dan dugaan sendiri. Kapan seseorang boleh melakukan shalat dengan duduk atau bahkan tidur terlentang? Kapan seseorang boleh tidak mengerjakan puasa? Ada catatan syaratnya.
Ketika seseorang telah yakin memenuhi syarat terkait dengan kondisinya sehingga diperbolehkan untuk mengambil kemudahan itu maka diperbolehkan untuk mengambil, karena itu juga fasilitas dari agama. Namun demikian, dalam memilih kemudahan ini, harus tetap melihat kadar kesukaran dan kesulitan. Orang yang bisa berdiri, tetapi tidak bisa mengerjakan ruku’ dan sujud secara sempurna, maka ia harus berdiri, sementara ruku’ dan sujud dikondisikan sesuai kemampuannya.
Artinya, kadar kesulitan juga menjadi pertimbangan dalam memilih kemudahan. Hal yang mudah dilakukan secara sempurna, tidak bisa dipengaruhi oleh kesulitan pada bagian lainnya, apalagi sampai menggugurkan pekerjaan semuanya. Dalam kaidah fikih disebutkan:
ما لا يدرك كله لا يدرك كله
“Sesuatu yang tidak bisa dicapai semuanya, bukan berarti boleh meninggalkan semuanya”.
Dengan kata lain, seseorang yang tidak mampu melakukan ruku’ dan sujud secara sempurna dalam shalatnya, bukan berarti tidak wajib shalat. Bukan berarti pula, boleh mengerjakan kemudahan pada bagian shalat yang sejatinya mampu dikerjakan secara sempurna. Ia boleh memilih rukhshah pada bagian yang sulit saja.
Kemudahan dalam menjalankan syariat ini sejatinya memiliki tujuan mulia. Setidaknya, dalam rukhshah ada kepastian bahwa manusia dapat menjalankan agama tanpa susah payah dalam dimensi ruang dan waktu. Mendorong dan memotivasi manusia agar rajin dan semangat dalam menjalankan ajaran agama, lantaran bisa dilakukan dengan mudah dan tanpa ada kesulitan.
Tentunya memandang kemudahan ini tidak secara serampangan, karena semuanya ada petunjuk dalam menjalankannya. Tidak boleh, hanya lantaran berpedoman bahwa agama itu mudah, kemudian mengatakan ibadah haji boleh dilaksanakan bukan pada bulan-bulan haji. Tidak boleh, hanya karena pernikahan tanpa pacaran itu melahirkan kesulitan dalam pernikahan, kemudian membolehkan pacaran.
Intinya, hanya orang yang tidak beriman yang kemudian mengopinikan dan menggambarkan bahwa beragama itu menyusahkan. Hanya orang perpikiran liberal atau bebas yang mengopinikan segala kemudahan agama secara serampangan, tanpa melihat syarat dan ketentuan agama. Wallahu a’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri