DHARBUL-MATSAL (peribahasa) dalam khazanah kesusastraan Arab memang unik. Banyak peribahasa yang lahir dengan latar belakang kisah nyata dan melibatkan tokoh-tokoh yang namanya kelak dikenang dan melegenda. Berikut kami rangkum 14 peribahasa Arab paling populer yang memuat nama, beserta latar belakang dan profil tokoh-tokohnya.
1. “Seanggun Ahnaf bin Qais”
“Ahlamu minal-Ahnaf”. Demikian bangsa Arab memuji pribadi-pribadi anggun nan berkharisma. Patokannya adalah al-Ahnaf bin Qais at-Tamimi (20 SH-72 H). Sosok tabiin agung. Memeluk Islam di masa hidup Baginda Nabi shallallahu alaihi wasallam namun tak sampai berjumpa dengannya. Sempat murtad dan bergabung dengan nabi gadungan Sajjah binti Harits, namun kekalahan melawan resimen Khalid bin Walid mengantarkannya menjemput kembali hidayah Islam.
Di Irak, kata-kata berikut sangat populer di abad pertama Hijriah: “40 tahun Bani Tamim hidup di bawah kharisma Ahnaf.” “Anggun seperti Ahnaf, cerdas seperti Iyas (Qadhi Iyas bin Muawiyah).” Kisah hidupnya penuh dengan teladan mulia, terutama sikap kalem dan anggunnya sebagai seorang bangsawan dan pemuka kaumnya. Dikisahkan, seseorang mencoba memancing keributan terhadap Ahnaf. “Satu kata terlontar darimu, bersiap-siaplah mendengar balasan 10 kata!” Dengan sikap hilm-nya, Ahnaf menjawab, “Engkau boleh melontarkan 10 kata, tapi tak ada sepatah katapun yang akan kau dengar.” Artinya, Ahnaf sama sekali tidak tertarik untuk meladeni ajakan ribut-ribut dari orang tersebut.
Kisah lain, ketika itu Ahnaf sedang memperbaiki periuk. Seseorang lewat lalu mengejeknya dengan syair gubahan penyair Mukhadram, Tamim bin Muqbil al-‘Ajlani al-Amiri (w. 36 H):
Periuk seukuran telapak kera berbulu, Meminjamnya tak dirasa mengganggu, Memakainya tak sampai mengotori baju.
Ahnaf tak ambil pusing dengan ejekan itu. “Semoga Allah merahmatinya. Jika mau, ia bisa mengucapkan yang lebih baik.” “Dermawan melebihi Hatim ath-Tha’i” “Ajwadu min Hatim” atau “Akramu min Hatim”. Ungkapan peribahasa untuk mereka yang murah hati dan penuh kebaikan. Ikon sifat dermawan dalam peribahasa ini pastinya bukan orang sembarangan. Dermawan bukan sembarang dermawan. Ia adalah Hatim bin Abdillah ath-Tha’i (w 46 SH). Ayahanda shahabat Adi bin Hatim, sosok bangsawan sekaligus pujangga Bani Thayyi’. Bani Thayyi’ adalah cabang Bani Azd yang tinggal di Najd bagian utara. Klan ini bermigrasi dari Yaman pasca jebolnya bendungan Ma’rib di timur laut Shanaa sekira 532 M.
Sosok yang wafat 33 tahun sebelum kenabian ini namanya terus dikenang sebagai “orang Arab yang paling dermawan”. Seabrek kisah kedermawanannya senantiasa menjadi buah bibir di semua kabilah Arab. Pada hari-hari makmur, ia menyembelih 10 ekor unta setiap hari dan mengundang semua kerabat dan kaumnya untuk makan bersama. Di musim paceklik, tak segan ia berkorban harta satu-satunya yang tersisa demi orang lain. Dikisahkan oleh istri Hatim, Mawiyah al-Ghassaniyah, di suatu musim kemarau panjang, semua orang menderita kelaparan, tak ketinggalan keluarga Hatim turut terkena dampaknya. Suatu hari, Mawiyah susah payah meninabobokan dua anaknya yang kelaparan agar bisa tidur. Setelah keduanya tertidur, gantian Hatim yang membelai dan menenangkan istrinya. Mawiyah waktu itu belum bisa tidur. Tapi ia pura-pura terlelap agar suaminya tidak bersedih.
Beberapa saat kemudian, seorang perempuan datang. Mengeluhkan rasa lapar yang telah berhari-hari mendera ia dan anak-anaknya. “Bawa kemari anak-anakmu, demi Allah aku akan membuat mereka kenyang!” Mendengar itu, Mawiyah bangkit. “Dengan apa engkau memberi makan mereka, sedang anak-anakmu sendiri kelaparan sampai tidak bisa tidur?” “Demi Allah aku akan membuat mereka kenyang!” Hatim mengulang sumpahnya. Hatim kemudian menyembelih kuda tunggangannya. Itulah satu-satunya harta yang tersisa. Dagingnya kemudian dibakar dan disuguhkan kepada sang tamu dan anak-anaknya. Mawiyah lalu membangunkan anak-anaknya supaya turut makan. Daging yang tersisa, oleh Hatim dibagikan kepada tetangga dan kerabat sampai tak tersisa kecuali tulang-belulang saja. Sementara Hatim sendiri tidak mencicipi sedikitpun masakannya!
Kisah kedua tentang Hatim dan seorang perempuan Bani ‘Anzah bin Rabiah yang kelak menjadi istri keduanya. Saat itu di musim kemarau, ‘Aliyah al-‘Anziyah datang bertamu dan meminta sedikit darah unta untuk diminum. Sebelum Islam, orang-orang Arab terbiasa menyayat urat unta atau kuda untuk diambil darahnya dan diminum. Kisah ketiga lebih menarik lagi. Cerita dari masa muda Hatim. Gara-gara terlalu dermawan, Hatim dimusuhi oleh ayahnya sendiri. Suatu hari, datang tiga orang tamu tak dikenal ke rumah Hatim muda. Mereka meminta suguhan makanan sekadarnya. Namun Hatim justru menyembelik tiga ekor unta gembalanya. Satu ekor untuk setiap tamu! Mereka bertiga terperanjat. “Kami hanya ingin suguhan susu untuk sarapan pagi…” “Iya aku tahu. Tapi aku melihat tiga raut wajah dan warna kulit berbeda. Pastinya kalian dari tiga negeri berbeda. Jadi aku ingin masing-masing kalian menyebut namaku setiba di kampung kalian,” ujar Hatim. Ketiganya lantas menggubah syair untuk Hatim dan memuji kemurahan hatinya. Tak cukup sampai di situ, Hatim lalu menghadiahkan semua unta yang tersisa. Masing-masing mendapatkan 39 ekor unta! Ketiga tamu tersebut bukan orang biasa. Mereka adalah pujangga papan atas era Jahiliyah. Nabighah adz-Dzubyani bersama dua penyair Bani Asad bin Khuzaimah: Ubaid bin al-Abrash dan Bisyr bin Abi Khazim. Mereka singgah dalam perjalanan menuju raja Hirah, al-Mundzir III al-Lakhmi. Tak ayal, kebaikan Hatim segera tersebar di seantero Arab dan menjadi buah bibir hingga ke istana kerajaan Manadzirah di Irak. Sang ayah, begitu mendegar kisah ini, ia naik pitam dan murka. Tak sudi tinggal bersama Hatim dan bersumpah akan meninggalkannya. Segera setelah kejadian itu, sang ayah pun pergi membawa istri dan anak-anaknya yang lain, meninggalkan Hatim seorang diri.
2. “Cukup mendengar tentang Mu’aidi, tidak perlu melihatnya”
“An-tasma’a bil-Mu’aidi khairun min an-tarahu.” Peribahasa ini diungkapkan untuk seseorang yang nama dan kiprahnya dikenal baik, namun sosok dan penampilannya tidak meyakinkan. Atau dalam bahasa lain, kiprahnya lebih baik dari penampakannya. Kata Mu’aidi merupakan bentuk tashghir Ma’addu, nama leluhur Arab Adnan (Maad bin Adnan). Nama Mu’aidi kemudian disematkan kepada orang-orang Arab pedalaman (Badui) yang dianggap bodoh dan hina. Peribahasa ini kali pertama dilontarkan oleh raja Hirah, al-Mundzir bin Imruul Qais alias Mundzir III (w 554 M). Sedangkan sosok yang disebut sebagai Mu’aidi adalah Syaqqah, putra dari Dhamrah bin Jabir yang mendamaikan dua keluarga Bani Nahsyal (cabang Bani Tamim) yang sedang berseteru. Karena peribahasa ini berkonotasi negatif, Syaqqah menjawab Mundzir III, “Kaummu bukanlah kawanan domba. Lelaki sejati hidup dengan dua bagian kecilnya: hati dan lisan. Ia berjuang dengan keteguhan hati dan berbicara dengan lidah yang fasih.” Bersambung
Moh. Yasir/sidogiri