Pemilu serentak tahun 2019 kini sudah tinggal menghitung hari. Tentunya, kita semua menginginkan bagaimana sekiranya Pemilu ini berjalan dengan lancar, tanpa ada kendala berarti, dan bisa menghadirkan kesejukan bagi segenap anak negeri, baik pada saat Pemilu berlangsung, maupun sesudahnya.

Namun, harapan akan hadirnya Pemilu yang damai, sejuk, tenteram, dan adem ayem itu masih dihantui oleh berbagai kegetiran dan perasaan was-was, karena iklim politik yang sama-sama kita rasakan hari-hari ini sudah tidak lagi sehat, penuh dengan ambisi, caci-maki, tipu daya, dan karenanya tidak lagi bermartabat.

Itulah sebabnya mengapa jauh-jauh hari sebelum Pemilu berlangsung, baik hari ini maupun sebelum-sebelumnya, kita juga lumrah mendapati sebagian orang berkeluh-kesah, “kapan semua ini berakhir?”, “Ingin rasanya urusan Pemilu ini segera selesai. Capek”, dan luapan-luapan kemuakan lain akan segala akrobat politik yang terus dipertontonkan kepada kita hari-hari ini.

Baca juga: Etika Politik?

Karena itu, sebenarnya, tak ada cara lain untuk menghadirkan iklim Pemilu yang sejuk, selain dengan membentuk kesadaran dalam diri kita sendiri, dan kalau bisa, juga menularkannya pada orang lain. Karena kesadaran komunal tidak bisa dibentuk kecuali melalui kesadaran individual. Kesadaran yang dimaksud, setidaknya, adalah sebagai berikut.

Pertama, para kontestan yang bersaing dalam Pemilu ini, baik Capres-Cawapres, Caleg di berbagai tingkatan, maupun DPD, serta seluruh Tim Pemenangan dan pendukung masing-masing dari mereka, berkesadaran penuh akan keyakinan bahwa kekuasaan mutlak hanya milik Allah. Bahwa Allah adalah al-Malikul-Mulk, penguasa segala kekuasaan, dan tak ada kekuasaan apapun selain kekuasaan-Nya.

Di samping itu, setiap dari mereka juga wajib berkeyakinan, bahwa Allah jualah yang memberikan kekuasaan kepada siapapun yang dikehendaki-Nya. Allah berfirman yang artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Wahai Tuhan pemilik kekuasaan, Engkau berikan kekuasaan kepada siapa pun yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kekuasaan dari siapa pun yang Engkau kehendaki’.” Kebijakan Allah ini bersifat mutlak, dan sudah diqadha’kan-Nya sejak zaman azal; sebelum adanya makhluk.

Kedua, setelah setiap kita memiliki kesadaran akan hal di atas dan menjadikannya sebagai keyakinan di dalam hati, tentu upaya-upaya yang kita lakukan untuk memenangkan pilihan masing-masing hakikatnya bukan untuk memenangkan pilihan itu (karena pemenangnya sudah ada dalam qadha’ Allah), melainkan sebatas amaliah kita yang tentunya tak lepas dari salah satu dari dua konsekuensi; pahala atau dosa. Jika kita berkompetisi dengan jujur, baik dan benar, maka kerja kita dihadiahi pahala, dan jika sebaliknya, tentu hanya siksa yang akan kita dapatkan kelak.

Ketiga, setelah kita menanamkan dua kesadaran di atas sebagai keyakinan yang melandasi pikiran kita, barulah kita bisa membuang jauh-jauh sifat-sifat negatif berkaitan dengan politik kekuasaan yang ada dalam diri kita, seperti sifat egoisme, egosentrisme, fanatik buta, haus kekuasaan, cinta jabatan, tamak, iri, dengki, dan lain sebagainya. Nah, jika sifat-sifat tercela ini sudah bisa kita singkirkan dari diri kita masing-masing, maka Pemilu yang sejuk dan adem ayem akan segera hadir ke hadapan kita.

Moh. Achyat Ahmad/sidogiri

Baca juga: Etika Politik?

Spread the love