Syekh Abdul Ghani bin Subuh bin Ismail bin Abdul Karim al-Bimawi al-Jawi, atau lebih dikenal dengan sebutan Syekh Abdul Ghani al-Bimawi, adalah ulama besar yang masyhur di dunia Islam pada paruh Abad ke-19. Keluasan ilmunya mengantarkan beliau menjadi salah satu diantara sekian ulama pakar pengajar di Masjidil Haram. Beliau menjadi tempat berguru banyak tokoh dunia yang datang ke Makkah.
Jika kita melacak garis genealogi atau hubungan kekerabatan intelektual antara beliau dengan para ulama di Indonesia atau kira-kira pada pertengahan abad ke-19, Syekh Abdul Ghani termasuk salah satu moyang ulama nusantara yang menetap dan berhasil menjadi tokoh di tanah suci. Sayangnya, hanya sebagian kecil para sejarawan kita yang bisa mengenalkan Syekh Abdul Ghani secara baik ke publik.
Keturunan Tokoh Hebat
Selain karena banyak karyanya yang tidak terlacak hingga kini, kesulitan lain terkait kelahiran Syekh Abdul Ghani al-Bimawi makin membuat kabur sejarah kehidupan beliau. Data sejarah yang ada hanya menyebut tahun kelahiran saja, kira-kira 1270 H atau 1780 M di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB). Adapun catatan pasti mengenai kapan hari dan bulan kelahiran beliau, belum ditemukan data konkritnya.
Kilas jejak kedekatan keluarga Syekh Abdul Ghani dengan Kesultanan Bima sebenarnya memiliki sejarah panjang dan unik untuk dikaji. Berawal dari kakek buyut beliau, Syekh Abdul Karim, ulama kelahiran Baghdad yang menetap dan menjadi penduduk Makkah. Syekh Abdul Karim menempuh perjalanan laut ke arah Timur dan mendarat terakhir di Sumbawa untuk mencari saudaranya yang telah lama menjadi dai disana.
Sampai di kawasan Dompu, penguasa Kesultanan Dompu mengagumi kealiman Syekh Abdul Karim dan berkenan menikahkan putrinya dengan beliau. Dari pernikahan itu, Syekh Abdul Karim mendapat anak laki-laki bernama Ismail. Syekh Ismail bin Syekh Abdul Karim pun mengikuti jejak ayahnya, menjadi mubaligh ke berbagai pelosok daerah. Syekh Ismail kemudian menikah dengan seorang perempuan yang tidak diketahui identitasnya dan mempunyai anak bernama Subuh.
Dengan semangat menggebu, Syekh Subuh bin Ismail sejak muda sudah hafal al-Quran. Masuk usia dewasa, ia mengembara ke timur ke arah Teluk Bima, wilayah kekuasaan Kesultanan Bima. Kehebatan ilmunya membuat Sultan Alauddin Muhammad Syah (w. 1743 M) yang menjadi penguasa Kesultanan Bima saat itu berkenan mengundangnya ke istana. Hingga Syekh Subuh akhirnya didaulat menjadi imam tertinggi di kesultanan.
Salah satu prestasi luar biasa dari ulama ini ialah menulis “Mushaf al-Quran Bima”. Mushaf yang ditulis Syekh Subuh berjuluk La Lino, yang berarti melimpah ruah atau menyeluruh (bahasa Arab: asy-Syâmil). Dulunya menjadi pusaka turun-temurun di kediaman keluarga Sultan Bima, kini aman tersimpan di Museum al-Quran Jakarta. Pada tahun 2012, Mushaf La Lino mendapat penghargaan dan dinobatkan sebagai mushaf al-Quran kuno terindah. La Lino termasuk salah satu mushaf tertua di Indonesia.
Hijrah ke Tanah Suci
Demi memenuhi hasrat keilmuannya, Abdul Ghani muda melawat ke Makkah (tidak terlacak pada tahun berapa) dan belajar dari tokoh-tokoh hebat disana. Diantaranya kepada dua ulama bersaudara Sayid Muhammad alMarzuqi dan Sayid Ahmad al-Marzuqi (pengarang kitab Aqîdatul-Awwâm), Muhammad Sa’id al-Qudsi (Mufti Syafiiyah) dan Syekh Utsman adDimyathi. Dari ulama yang disebut terakhir, beliau banyak mengambil faidah ilmu (baca: al-A’lâm, karya Khairuddin az-Zirikli). Sanad guru tarekat Syekh Abdul Ghani, Syekh Baharudin, bersambung hingga Sayid Abdul Qadir al-Jilani, pendiri Tarekat Qadariyah.
Di Makkah, Syekh Abdul Ghani masih sejawat dengan Sayid Ahmad bin Zaini Dahlan. Lama menetap dan matang dalam berbagai bidang ilmu, Syekh Abdul Ghani di angkat sebagai staf pengajar di Masjidil Haram. Bisa dikatakan, beliau telah meluluskan banyak tokoh ulama Jawa (istilah yang berkembang kala itu), semisal Syekh Ahmad Khathib bin Abdul Ghaffar as-Sambasi, KH Muhammad Shaleh Darat, Syaichuna Muhammad Chalil alMaduri, dan masih banyak lagi yang tak tersebutkan.
Diantara ulama Sumbawa yang pernah mencicipi ilmu Syekh Abdul Ghani yakni dua ulama bersaudara Syekh Umar bin Abdurrasyid asSumbawi dan Syekh Muhammad Ali bin Abdurrasyid as-Sumbawi. Ada lagi penerus beliau yang juga menjadi pengajar di Masjidil Haram, yang berhasil tercatat ialah Syekh Nawawi bin Umar al-Banteni, Syekh Muhammad bin Muhammad bin Wasi’ al-Jawi al-Makki dan Syekh Muhammad Ali bin Husein bin Ibrahim al-Maliki.
Sempat Pulang Kampung
Syekh Abdul Ghani pernah pulang ke kampung halamannya pada tahun 1857 M, di masa pemerintahan Sultan Salahuddin yang bergelar “Mawa’a Adil” (Sang Pembawa Keadilan). Beliau singgah di Dompu dan menikahi putri Raja Dompu. Menurut penuturan Syekh Mahdali (cucu Syekh Abdul Ghani), kakeknya bahkan diangkat menjadi Qadhi Kesultanan Dompu. Sultan Dompu juga menghadiahkan kepada beliau 57 petak sawah di So Ja’do.
Di lokasi petak sawah hibah itulah Syekh Abdul Ghani sempat mendirikan masjid yang diberi nama “Masjid Syekh Abdul Ghani” sesuai namanya, dan sebuah pesantren yang dikemudian hari ramai didatangi penuntut ilmu dari sekitar Dompu, Bima dan Sumbawa. Namun, masjid dan pesantren tersebut kini sudah tidak ada lagi. Bekas masjid yang juga merupakan Masjid Kesultanan Dompu itu berlokasi di Kampo Sigi (sekarang Lingkungan Sigi, Kelurahan Karijawa, Kecamatan Dompu).
Syekh Abdul Ghani memiliki seorang anak dari pernikahannya dengan putri Raja Dompu, bernama Syekh Mansyur. Dialah yang menggantikan posisi Syekh Abdul Ghani sebagai Qadhi Kesultanan Dompu setelah bertolak kembali ke Makkah. Syekh Mansyur menjadikan kawasan So Ja’do sebagai pusat dakwah, hingga ia lebih dikenal dengan nama Sehe Ja’do. Saat ini So Ja’do masuk wilayah Kelurahan Bali Satu, Utara Jalan Lintas Luar Dompu.
Baca juga: Mujaddid Abad Ke Tujuh dengan Seribu Kekeramatan
Akhir yang Membanggakan
Setelah beberapa lama tinggal di Dompu, Syekh Abdul Ghani kembali ke Makkah (tahun tepatnya tidak diketahui). Sangat disayangkan, beliau tidak terlalu banyak meninggalkan bukti catatan sejarah hidup, terutama saat mendakwahkan Islam di wilayah Sumbawa dan sekitarnya. Para sejarawan Indonesia juga tidak banyak mengungkap data yang demikian.
Syekh Abdul Ghani wafat di Makkah dan dimakamkan di area pekuburan Ma’la, perkiraan pada tahun 1270 H atau dasawarsa terakhir Abad ke-19 M. Syekh Abul-Faidh Muhammad Yasin bin Muhammad Isa al-Fadani, dalam tashhih kitab Kifâyatul-Mustafîd Limâ ‘Alâ Ladat-Tarmîsî Minal-Asânid, menyebut pribadi Syekh Abdul Ghani sebagai salah satu dari 103 tokoh Ulama Melayu yang begitu pakar dan banyak meriwayatkan Hadis Nabawi.
Salman Alfarisi/sidogiri