Oleh: ibnu imron*
Masa antara abad XIV-XV memiliki arti penting dalam sejarah kebudayaan Nusantara, di mana pada saat itu ditandai hegemoni Majapahit sebagai Kerajaan Hindu-Budha mulai pudar. Sejak itu muncul era baru dengan ditandai penyebaran Islam melalui jalar perdagangan Nusantara. Dengan cara dakwah ramah melalui jalur damai perdagangan itulah, Islam kemudian semakin dikenal di tengah masyarakat Papua.
Teori Maluku Utara (Ternate-Tidore)
Dalam sebuah buku catatan sejarah kesultanan Tidore menyebutkan bahwa pada tahun 1443 M, Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X atau Sultan Papua I) memimpin ekspedisi ke daratan Tanah Besar (Papua). Setelah tiba di wilayah pulau Misool, Raja Ampat, maka Sultan Ibnu Mansur mengangkat Kaicil Patrawar, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi ( Kapita Gurabesi ). Kapita Gurabesi kemudian di kawinkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur bernama Boki Tayyibah. Kemudian berdiri empat kerajaan di kepulauan Raja Ampat tersebut yaitu kerajaan Salawati, kerajaan Misool atau yang sering disebut kerajaan Sailolof, kerajaan Batanta dan kerajaan Waigeo. kemudian keempat krajaan tersebut dihuni banyak pendatang dari Aceh, Jawa, Bugis, Makasar, Buton, Banda, Seram, Goram, dan lain-lain.
Pendapat lain mengemukakan bahwa Perkembangan agama Islam di daerah Fakfak dikembangkan oleh pedagangpedagang suku Bugis melalui Banda yang diteruskan ke Fakfak melalui Seram Timur oleh seorang pedagang dari Arab bernama Haweten Attamimi yang telah lama menetap di Ambon.
Beberapa Peninggalan Kuno
Ada banyak bukti kongkrit yang mendukung pendapat Islam lebih dahulu masuk ke Tanah Papua sebelum agama Kristen, diantara bukti-bukti tersebut adalah berupa peninggalanpeninggalan kuno di antaranya:
Mushhaf Tua
Mushaf al-Quran ini merupakan tulisan tangan Syekh Iskandar Syah dengan ukuran sekitar 50 x 40 cm di atas kulit kayu. Sebelum wafat, Syekh Iskandar yang dipercaya sebagai tokoh yang menyebarluaskan Islam di Papua mengamanatkan kepada keturunan Raja Patipi di Papua. Setelah mushaf tua ini hilang selama kurang lebih 800 tahun, kini mushaf itu sudah tersimpan rapi di kediaman Raja Patipi ke XVI H. Ahmad Iba di Fakfak.
Manuskrip
Selain menulis mushaf al-Quran, Syekh Iskandar Syah juga menulis kitab tentang Hadis, ilmu Tauhid, dan kumpulan doa sebagai penunjang dakwahnya di tanah Papua.
Empat kitab ini bersampul kulit rusa yang ditulis di atas daun lontar, pelepah kayu, dan daun koba-koba, pohon asli Papua yang kini mulai punah. Berdasarkan cerita turun-temurun, lima manuskrip pertama diyakini masuk ke Papua pada tahun 1214 Masehi.
Dalam rangka penyebaran Islam, kitab-kitab itu dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari Kerajaan Samudra Pasai di Aceh yang datang menyertai rombongan ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk lewat mes yang berada di wilayah Kerajaan Teluk Patipi saat itu.
Masjid-Masjid Tua di Fakfak
Ada beberapa peninggalan Arsitektur sejarah Islam di Papua, misalnya Masjid Tunasgain di Fakfak Timur, Masjid Tubirseram di Kabupaten Fakfak, dan yang paling terkenal adalah Masjid Patimburak di Kampung Patimburak yang sudah berusia ratusan tahun. Masjid tersebut berada di wilayah Kokas Kabupaten Fakfak, Papua Barat, masjid tersebut masih berfungsi hingga saat ini dibangun oleh seorang Ulama yang bernama Abu Hari Kilian pada tahun 1870 M.
Menurut catatan sejarah, masjid dengan konsep sebuah geraja ini merupakan masjid tertua di Fakfak. Selama keberadaannya, masjid ini pernah beberapa kali direnovasi. Namun, bentuk masjid tetap dipertahankan seperti aslinya, diantaranya adalah empat pilar penyangga yang terdapat di dalam masjid dan lubang bekas peluru tentara Jepang.
Saat itu, yakni pada tahun 1870, Islam dan Kristen sudah menjadi dua agama yang hidup damai berdampingan di Papua. Ketika dua agama ini akhirnya masuk ke wilayahnya, Wertuer sang raja tak ingin rakyatnya terbelah kepercayaannya.
Maka ia membuat sayembara antara misionaris Kristen dan imam Muslim. Mereka ditantang untuk membuat masjid dan gereja. Masjid didirikan di Patumburak, gereja didirikan di Bahirkendik. Bila salah satu di antara keduanya bisa menyelesaikan bangunannya dalam waktu yang ditentukan, maka seluruh rakyat Wertuer akan memeluk agama itu. Dan atas Izin Allah Masjid petamburak selesai sesuai waktunya hingga mulai saat itu agama islam mulai tersebar luas di daerah itu.
Tradisi Lisan
Tradisi lisan tentang kedatangan islam masih tetap terjaga sampai hari ini yang berupa cerita dari mulut ke mulut tentang kehadiran Islam di Bumi Cendrawasih, utamanya di Papua Barat.
Tulisan Kuno Arab
Di Fakfak, Papua Barat dapat ditemukan delapan manuskrip kuno berhuruf Arab. Lima manuskrip berbentuk kitab dengan ukuran yang berbeda-beda, yang terbesar berukuran kurang lebih 50 x 40 cm, yang berupa mushaf al-Quran yang ditulis dengan tulisan tangan di atas kulit kayu dan dirangkai menjadi kitab. Sedangkan keempat kitab lainnya, yang salah satunya bersampul kulit rusa, merupakan kitab Hadis, ilmu Tauhid, dan kumpulan doa.
Kelima kitab tersebut diyakini masuk pada tahun 1214 dibawa oleh Syekh Iskandar Syah dari kerajaan Samudra Pasai yang datang menyertai ekspedisi kerajaannya ke wilayah timur. Mereka masuk melalui Mes, ibukota Teluk Patipi saat itu. Sedangkan ketiga kitab lainnya ditulis di atas daun koba-koba, Pohon khas Papua yang mulai langka saat ini. Tulisan tersebut kemudian dimasukkan ke dalam tabung yang terbuat dari bambu. Sekilas bentuknya mirip dengan manuskrip yang ditulis di atas daun lontar yang banyak dijumpai di wilayah Indonesia Timur.
Tantangan Umat Islam di Tanah Papua
Sejak abad 15 Agama Islam berdiri kokoh di Tanah Papua hingga akhirnya pada abad 19, tepatnya pada tahun 1855 misionaris masuk ke tanah Papua melalui jalur Manokwari oleh dua misionaris asal Jerman yang bernama CW Attow dan GJ Geisler, sejak saat itu agama islampun sedikit demi sedikit mulai tergerus, banyak orang-orang pribumi yang pindah agama dikarenakan iming-iming materi, ditambah lagi kurang dai di daerah pedalaman di sehingga lambat laun agama islam tersalip oleh agama baru. Oleh karenanya pada tokoh islam pribumi sangat senang jika ada perantau yang beragama islam karena merasa terbantu tugas dakwahnya.
*Penulis adalah alumni santri sidogiri dari Pasuruan