Perseteruan antara Israel dan Palestina kembali mencuat dalam beberapa hari terakhir, dimulai sejak Hamas menyerang Israel pada tanggal 7 Oktober lalu. Serangan Hamas ini mendapat tanggapan serius dari Israel, yang menyatakan ‘keadaan perang’. Perseteruan ini telah mengakibatkan korban jiwa yang tidak terbendung, terutama di pihak Palestina. Bukan hanya prajurit militer yang menjadi sasaran, tetapi juga anak-anak, perempuan, dan orang tua renta. Hingga tanggal 9 November kemarin, korban jiwa telah mencapai lebih dari 10.000 orang. Oleh karena itu, banyak yang menyebut ini bukan sekadar konflik, melainkan penjajahan.
Menanggapi situasi ini, Ustaz Salim A. Fillah, Penulis Buku Islami dan Pendakwah, memberikan penjelasan dalam wawancara dengan Moh Ainul Yaqin AW dari Sidogiri Media.
Belakangan ini, perseteruan antara Israel dan Palestina memuncak kembali. Bagaimana pandangan ustaz terhadap fenomena ini, apakah lebih bersifat politik atau konflik agama?
Ustaz menghindari menyebut peristiwa ini sebagai ‘konflik’. Menurutnya, fakta yang ada menunjukkan adanya penjajahan, di mana Negara Israel berdiri atas dasar perampasan tanah, pengusiran, dan pembantaian terhadap penduduk Palestina selama lebih dari 70 tahun. Bahkan, 2 juta penduduk Gaza telah terkekang di wilayah sempit tanpa akses air, energi, dan sumber ekonomi yang layak selama hampir 17 tahun terakhir.
Ustaz menjelaskan bahwa reaksi terhadap penjajahan disebut perlawanan, dan dalam perlawanan tersebut, setiap orang bisa memiliki motif politik, ekonomi, kemanusiaan, atau agama.
Beberapa pihak yang pro-Israel mengasumsikan bahwa negara tersebut berjuang untuk merebut kembali ‘tanah yang dijanjikan’. Bagaimana pandangan ustaz mengenai hal ini?
Ustaz menyatakan bahwa janji berlaku selama syarat dan ketentuan dipenuhi. Namun, selama 2000 tahun belakangan, tanah Palestina tidak pernah mengalami masa damai di bawah naungan keadilan Islam. Menurutnya, Israel merupakan penjajah yang terus mengubah ketentuan tersebut, sehingga situasi di Palestina menjadi amburadul.
Sebagian ahli geopolitik berpendapat bahwa Hamas menjadi ‘dalang’ di balik perseteruan ini. Apa pandangan ustaz mengenai hal tersebut?
Ustaz menekankan bahwa hal mendasar yang harus dipahami dalam masalah Palestina adalah bahwa ‘ISRAEL ADALAH PENJAJAH’. Dalam pandangan teman-teman Israel, gerakan perlawanan di Palestina, termasuk Hamas, mungkin akan dilabeli secara negatif, seperti halnya para pahlawan Indonesia yang dicap radikalis dan teroris oleh penjajah Belanda.
Selain Hamas, kelompok yang juga menginginkan kemerdekaan bagi Palestina adalah Fatah. Apa perbedaan mencolok antara keduanya, dan apa manhaj masing-masing kelompok?
Ustaz menjelaskan bahwa Hamas, yang berasal dari ‘Harakah al-Muqawamah al-Islamiyyah’, merupakan gerakan nasionalis-agamis yang berdiri pada 14 Desember 1987. Sebelumnya, Hamas adalah bagian dari Ikhwanul Muslimin di Mesir. Di sisi lain, Fatah berasal dari ‘Harakah at-Tahrir al-Wathani al-Filasthini’, didirikan pada tahun 1958 oleh sekelompok warga Palestina di Kairo, Mesir, termasuk Yasser Arafat. Fatah memiliki tujuan mendirikan negara Palestina di daerah yang menjadi pusat konflik Israel dan Palestina.
Saat ini, kelompok perlawanan Palestina menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Meskipun Fatah dan Hamas mungkin berbeda dalam pendekatan perjuangan kooperatif dan non-kooperatif, mereka bersatu untuk mendukung kemerdekaan Palestina. Fatah menerima solusi dua negara, sementara Hamas menghendaki kemerdekaan penuh bagi Palestina.
Beberapa negara Islam turut mendukung Palestina, bukan hanya atas dasar agama, tetapi juga karena tuntutan politik dunia. Bagaimana pandangan ustaz mengenai hal ini?
Ustaz menyatakan bahwa setiap negara memiliki motif untuk berpihak, dan yang terpenting adalah pandangan yang objektif dan adil atas fakta yang terjadi, yaitu penjajahan. Ia menekankan pentingnya melaksanakan amanat konstitusi yang menyatakan bahwa kemerdekaan adalah hak semua bangsa, dan penjajahan harus dihapuskan karena tidak sesuai dengan prinsip kemanusiaan dan keadilan.
Hingga batas mana syariat memperbolehkan melawan ‘penjajah’? Ustaz menjelaskan bahwa seperti yang dicontohkan oleh pejuang Hamas, melawan ‘penjajah’ harus dilakukan sesuai petunjuk Nabi Shallallaahu alaihi wa sallam dalam berperang. Meskipun perang adalah tipu daya, harus diupayakan untuk hanya menarget sasaran militer dan tidak merugikan perempuan, anak-anak, lansia, tempat ibadah, sekolah, rumah sakit, bangunan bersejarah, dan lain-lain. Ustaz menegaskan bahwa perlakuan baik terhadap tawanan dan perlindungan terhadap yang tak berdaya tetap harus dijunjung, bahkan ketika lawan melakukan sebaliknya dengan membombardir berbagai fasilitas dan menyasar warga sipil di Gaza
Moh Ainul Yaqin AW/Sidogiri