Perbedaan pendapat dalam setiap komunitas para pemikir merupakan suatu kenyataan yang tidak terelakkan. Jika beragam pendapat yang berseberangan tersebut tidak sampai menyentuh ranah yang tak menerima khilafiah, seperti akidah mendasar, para ulama tidak terlalu mempermasalahkannya selama berdasarkan dalil. Namun, jika tidak demikian, konsekuensinya sering kali berujung pada perdebatan dan adu argumen. Untuk menjaga nuansa ilmiah dalam suatu perdebatan, para ulama kemudian memberikan rambu-rambu khusus yang menjadi semacam kode etik bagi semua pihak yang terlibat dalam perdebatan. Salah satu kitab yang cukup lengkap mengupas tema ini adalah kitab ‘Iyârun-Nazhar fî ‘Ilmil-Jadal, karya Imam Abu Manshur Abdul Qahir bin Thahir bin Muhammad at-Tamimi al-Baghdadi asy-Syafii (w. 429 H).
Secara umum, kitab ini memuat poin pembahasan yang cukup komprehensif sehingga menjadikannya agak tebal. Total pasalnya saja mencapai 137 pasal dalam 18 bab berbeda. Dengan semua bab dan pasal tersebut, penjelasan penulis sebetulnya berkisar pada dua tema besar, yaitu keterampilan berpikir (nazhar) dan keterampilan berdebat (jadal). Bab pertama sampai ketujuh difokuskan pada pembahasan nazhar dan pengantar dasar-dasar ilmu jadal yang diperlukan. Kajian tentang nazhar juga dapat ditemukan di bab kedua belas. Demikian pula dalam bab keempat belas dan kelima belas dengan kajian yang lebih terpusat pada perbedaan ushul dan furuk, beserta konsep pentarjihan dalil.
Selain itu, setiap pokok pembahasan yang diulas rata-rata terdiri dari dua model uraian, yaitu ulasan tuntas tentang tema tertentu hingga ke akar-akarnya dan penyebutan beberapa contoh permasalahannya. Semua contoh yang ditampilkan penulis juga cukup bervariasi, antara contoh yang bertema syar’i (hal-hal yang berhubungan dengan furuk Fikih yang menjadi perselisihan antar mazhab Fikih) dan akli (hal-hal yang berhubungan dengan kajian ilmu Kalam yang diperselisihkan antar mutakallimin). Contoh-contoh perdebatan di kitab ini termasuk salah satu pembahasan yang cukup menarik untuk dibaca dengan seksama. Sebab, penulis yang merupakan salah satu murid Imam Abu Ishaq al-Isfarayini ini sering kali menampilkan contoh berdasarkan realitas. Misalnya dalam bidang ilmu syara’, beliau menampilkan beberapa perdebatan yang pernah terjadi antara ulama mazhab Syafii dengan ulama mazhab Hanafi, Maliki, dan bahkan Zhahiri. Di bidang ilmu kalam, beliau mencontohkan perdebatan antara ulama Asya’irah dengan para tokoh aliran Muktazilah, Qadariyah, Mujassimah, dan bahkan Falasifah. Dengan menggabung pengalaman dan pengetahuan penulis di bidang ilmu Kalam dan Fikih, guru dari Imam al-Baihaqi ini kemudian mengomparasikan sekaligus memadukan dua model perdebatan yang dipakai para ulama Fikih dan ulama Kalam.
Meskipun menurut Ibnu Khaldun, orang pertama yang menyusun kitab tentang ilmu jadal adalah Syekh Ruknuddin Muhammad al-‘Amidi dengan kitab al-Irsyâd-nya, kitab karya Syekh Abdul Qahir ini dapat dianggap sebagai kitab pertama tentang ilmu jadal yang disusun dengan lebih teratur sesuai kaidah umum. Hal ini dapat kita ketahui secara jelas dari jalinan tema dan rangkaian pembahasannya. Selain itu, kitab ini juga memuat sekilas sejarah yang berhubungan dengan ilmu jadal, seperti perkembangannya, tokoh-tokoh awal yang mengulasnya baik yang berasal dari para pemikir Yunani pra Islam maupun dari generasi awal dalam Islam, dan kaitannya dengan ilmu-ilmu yang lain. Pembahasan sejarah penting ini diposisikan penulis di bagian pendahuluan kitab.
Dengan himpunan tema penting yang disertai contoh nyata dalam setiap pembahasannya, kitab ini dapat memproyeksikan gambaran utuh tentang bobot perdebatan para ulama kita di masa lalu dengan beragam sudut pandang yang mungkin jarang kita temukan di masa kini. Mungkin karena itu, kitab ini sering dikutip oleh Imam az-Zarkasyi dalam kitab monumentalnya di bidang Ushul Fikih, yaitu al-Bahru al-Muhîth. Bagi para pemula seperti kita, kitab ini menjadi bukti bahwa ilmu jadal memiliki akar sejarah dan kajian yang cukup panjang. Bagi orang-orang yang hanya bermodal lisan, kitab ini tentu hanya akan mengekang kebebasan mereka dalam bersilat lidah.
Moh. Zaki Ghufron/Sidogiri