Sebagaimana telah maklum, tobat hampir pasti diterima jika memenuhi seluruh syaratnya; begitu pula hampir pasti ditolak jika tidak memenuhi syarat-syaratnya. Ulama merumuskan syarat tobat ke dalam tiga hal, yaitu: (1) Berhenti dari perbuatan dosanya; (2) Menyesal; dan (3) Berkomitmen kuat untuk tidak mengulangi. Jika dosanya terkait dengan hak sesama manusia, maka ada tambahan syarat keempat, yaitu istihlâl, yakni mendapatkan maaf dan kerelaan dari pemiliknya, dengan cara meminta maaf dan mengganti jika berupa harta benda. Hak-hak “kemanusiaan” ini tidak bisa diselesaikan dengan berdoa meminta ampun kepada Tuhan, namun butuh kesadaran dan keberanian meminta maaf sesama hamba.
Dalam kitab Risalatu Adabi Sulukil-Murid al-Imam al-Habib Abdullah bin Alawi al-Haddad menyebutkan bahwa seseorang yang masih memiliki beban tanggungan kepada makhluk (sesama manusia), niscaya ia tidak akan bisa berjalan menuju (kedekatan dengan) Tuhan. Sebab, menjalin hubungan baik sesama hamba adalah termasuk ajaran agama yang wajib diamalkan. Amat disayangkan jika seseorang rajin ibadah, namun masih memiliki tanggungan dosa kepada sesama muslim. Dosa tersebut kelak akan menjegalnya di akhirat, menjadi batu sandungan yang menjerumuskan pada siksa yang amat pedih. Dalam hadis riwayat Imam al-Bukhari disebutkan:
حَدَّثَنَا آدَمُ بْنُ أَبِي إِيَاسٍ حَدَّثَنَا ابْنُ أَبِي ذِئْبٍ حَدَّثَنَا سَعِيدٌ الْمَقْبُرِيُّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ مِنْ عِرْضِهِ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ قَبْلَ أَنْ لَا يَكُونَ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ إِنْ كَانَ لَهُ عَمَلٌ صَالِحٌ أُخِذَ مِنْهُ بِقَدْرِ مَظْلَمَتِهِ وَإِنْ لَمْ تَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ صَاحِبِهِ فَحُمِلَ عَلَيْهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barang siapa yang memiliki tanggungan kezaliman terhadap saudaranya, baik dalam hal kehormatan atau sesuatu apapun hendaklah dia meminta kehalalannya (maaf) pada hari ini (di dunia) sebelum datang hari yang ketika itu tidak bermanfaat dinar dan dirham. (Jika seseorang yang menzalimi belum meminta kehalalan, maka kelak di akhirat) bila dia memiliki amal saleh akan diambil darinya sebanyak kezalimannya. Apabila dia tidak memiliki amal baik maka keburukan saudaranya yang dizaliminya itu akan diambil lalu ditimpakan kepadanya” (HR. al-Bukhari).
Bukanlah suatu aib dan cela bila kita mengaku salah dan meminta maaf. Bukan merendahkan diri bila kita mengaku khilaf pada sesama. Bahkan semua itu akan mendatangkan curahan rahmat Allah bagi seseorang yang sadar dan berani meminta maaf atas kesalahannya. Sebagaimana hadis riwayat Imam at-Tirmidzi berikut:
حَدَّثَنَا هَنَّادٌ وَنَصْرُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْكُوفِيُّ قَالَا حَدَّثَنَا الْمُحَارِبِيُّ عَنْ أَبِي خَالِدٍ يَزِيدَ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَبِي أُنَيْسَةَ عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللَّهُ عَبْدًا كَانَتْ لِأَخِيهِ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ فِي عِرْضٍ أَوْ مَالٍ فَجَاءَهُ فَاسْتَحَلَّهُ قَبْلَ أَنْ يُؤْخَذَ…
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah merahmati seorang hamba yang pernah berbuat zalim terhadap harta atau kehormatan saudaranya, kemudian dia mendatangi saudara yang dizaliminya untuk meminta kehalalannya sebelum ajal menjemput…” (HR. Imam at-Tirmidzi).
Hadis di atas menjadi kabar gembira bagi seseorang yang sadar dan berani mengakui kesalahan dan meminta maaf. Sangat rugi jika kita menyimpan kesalahan dan enggan meminta maaf sebab alasan “kehormatan”, rasa “malu” atau alasan-alasan lain yang sejatinya tidak begitu prinsip. Siksa di akhirat jauh lebih mengerikan daripada alasan apapun yang berkaitan dengan urusan dunia. Maka, kegiatan halal bihalal yang biasa dilakukan masyarakat Indonesia setelah Ramadan adalah momen tepat dan baik untuk dilestarikan.
Baca juga: Inspirasi Memilih Teman
Kemudian, jika ternyata kita memiliki tanggungan kepada seseorang yang sudah meninggal atau tidak ditemukan jejak dan tempat tinggalnya, apakah ia masih hidup atau tidak, maka cara melepaskan tanggungan tersebut jika berkaitan dengan harta harus mengembalikannya kepada ahli warisnya jika masih bisa diidentifikasi. Jika tidak bisa diidentifikasi, maka solusinya adalah bersedekah kepada fakir miskin, dengan niat sebagai sedekah dari orang yang kita zalimi. Menurut Imam al-Qurthubi, bisa pula ditasarufkan untuk kemaslahatan umat Islam. Solusi sedekah ini juga disebutkan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Minhajul-Abidin. Dan jika pemiliki tanggungan tidak mampu bersedekah maka perbanyaklah berbuat kebajikan, kembalikan segalanya pada Allah, rendahkanlah diri dihadapan-Nya agar kelak pada hari kiamat Allah meridai beban tanggungannya (yang masih belum tertuntaskan)”
M Romzi Khalik/sidogiri