Suatu ketika salah seorang murid Syekh Muhammad ar-Rifa’i, ulama besar yang dikenal sebagai seorang wali, mursyid dan pendiri Tarekat ar-Rifa’iyyah bermimpi bahwa sang Syekh duduk di singgasana para shiddiqin. Hanya saja, sang murid memendam dan tidak menceritakan mimpinya itu.
Kebetulan Syekh ar-Rifa’i memiliki istri yang kata-katanya kasar, sering menyakiti beliau. Pada satu kesempatan, sang murid berkunjung ke rumah gurunya. Saat itulah, ia melihat perlakuan kasar istri gurunya. Istri sang guru, sedang memegang kayu pengorek tungku masak. Kemudian, istri tersebut memukul punggung Syekh sampai bajunya menghitam terkena bekas arang dari tungku masak. Namun, Syekh ar-Rifa’i hanya terdiam.
Tidak terima melihat gurunya diperlakukan semena-mena, ia menghubungi teman-temannya. Ia mencertikan kejadian yang menimpa gurunya. Seluruh murid pun terprovokasi, hingga di antara mereka ada yang menyebut, mahar istri gurunya 500 dinar, sementara sang guru fakir.
Mereka pun mengumpulkan uang sebanyak 500 dinar, guna membebaskan gurunya dari wanita itu. Datanglah sang murid kepada Syekh ar-Rifa’i dengan membawa 500 dinar dalam sebuah talam kecil. Syekh ar-Rifa’i berkata, “Apa ini?”
“Ganti untuk mahar istri guru yang telah memperlakukan guru dengan tidak baik,” jawab murid.
Syekh ar-Rifa’i tersenyum dan berkata, “Jika bukan karena kesabaranku dalam menghadapi pukulan atau kata-katanya, maka kamu tidak akan melihatku duduk di singgasana itu.”
Jleb, sang murid diam seribu bahasa.
Baca Juga: Mengatasi Persoalan Rumah Tangga
Dalam biduk rumah tangga, tidak ada yang lepas dari prahara. Persoalan yang mendera, kecil ataupun besar, atau juga masalah kecil yang dibuat besar. Semua pasti mengalaminya, baik itu dari kalangan biasa hingga keluarga yang terbilang khas, semacam ulama. Jangan dikira, semua rumah tangga yang dinilai memiliki ilmu berjalan mulus, tanpa ada halangan. Rumah tangga Nabi. pun pernah diterpa prahara, dengan isu hoax perselingkuhan Siti ‘Aisyah atau yang dikenal dengan hadisul-ifki.
Banyak sekali kita temui, kisah para ulama dan orang-orang saleh yang memiliki istri berperangai kurang baik. Di Yaman ada seorang wali bernama Syekh Abdurrahman Bajalhaban. Beliau memiliki istri keras dengan kata-kata kasar. Setiap hari sang istri menaiki tubuhnya untuk digendong ke lantai atas. Justru, tanpa ia sadari pangkat kewalian yang disandangnya justru dirasakan oleh orang lain yang meminta makanan langsung dari langit, melalui tawasul dengannya.
Kisah Syekh ar-Rifa’i kemudian Syekh Abdurrahman Bajalhaban adalah sekelumit kisah dari seorang wali yang memiliki keistimewaan setelah menerima cobaan dari pasangan hidupnya. Namun demikian, dalam menghadapi cobaan tersebut, mereka selalu mengedepankan kebijaksanaan. Meskipun emosi mereka setiap kali diuji baik ketika dalam keadaan berduaan maupun di hadapan masyarakat umum.
Mereka tidak pernah naik darah dengan secara spontan melemparkan kata talak, bahkan yang mereka tunjukkan adalah kebijaksanaan yang merupakan buah dari kedalaman ilmu. Mereka yakin bahwa semua itu adalah kesempatan untuk meraih ziyadah pahala dan sikap istri dijadikan tirakat, pun untuk melebur segala kesalahan dan dosa.
Imam al-Ghazali bahkan merumus-kan dalam kitab Ihya’ Ulumiddin bahwa kemarahan dan caci maki istri mudah mengantarkan seorang suami menjadi wali, Madrasatul-Awliya’ fitnatun-Nisa’. Artinya, madrasah para wali diuji istrinya, sehingga yang sering dimarahi istri dapat memudahkan seseorang menjadi wali, dan cobaan semacam itu menjadi salah satu tanda kewalian.
Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumiddin-nya juga menyebut,“Bersabar dari kata-kata (menyakitkan) yang keluar dari mulut para istri adalah salah satu cobaan para wali.” (Ihya ‘Ulumiddin, II:49).
Senada dengan Al-Ghazali, Syekh Abd al-Wahhab Al-Sya’rani berkata dalam Lawaqih al-Anwar : 261, “Tuan guru saya ‘Ali Al-Khawwas pernah berkata: sedikit sekali ada auliya` kecuali ia memiliki istri yang senantiasa menyakiti dengan lisan maupun perbuatannya.”
Tentu saja, ini bukan berlaku umum sehingga ketika melihat seseorang memiliki istri kasar adalah seorang wali. Pun pula, menjadi sebuah keinginan jika ingin menjadi wali harus mengawini perempuan kasar. Atau pula, jika ingin memiliki suami wali, harus mengujinya dengan berkata kasar dan caci maki.
Semua itu memberi pelajaran bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan sikap dan ucapan istri memiliki hikmah. Bisa mungkin menjadi jalan dari sebuah cobaan dan musibah yang kemudian mengangkat derajat di hadapan Allah. Di situlah uji kesabaran menjadi jalan untuk mencapai derajat tersebut, sekaligus menjadi ujian dari hadis Nabi, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarganya, sementara saya adalah paling baik terhadap keluargaku” (H.R. at-Tirmidzi).
Baca Juga: Simpanlah Aib Keluarga: Trik Rumah Tangga Sakinah
Dalam sebuah hadis riwayat al-Bukhari dikisahkan, Siti ‘Aisyah pernah menumpahkan dan memecahkan nampan berisi makanan yang diantar oleh Zainab. Rasa cemburu menggelayuti istri Nabi tersebut. Justru hal itu terjadi di hadapan sahabat-sahabat Nabi yang sedang bertamu. Rasulullah mendekati para shahabatnya dengan tenang, seolah tidak terjadi apa-apa. “Maaf, ibu kalian sedang cemburu,” kata Rasulullah.
Sudah menjadi sifat alamiah, seorang wanita yang lebih emosional dan mengandalkan perasaan. Wanita sering sensitife dan sangat berimbas pada emosionalnya. Hal itulah yang digambarkan oleh Rasulullah, karakter wanita kaku seperti tulang rusuk yang bengkok. Jika suami memaksa meluruskannya dengan kasar, alhasil rusuk tersebut akan patah dan menyebabkan perceraian.
Kisah di atas, juga menjadi bahan renungan bahwa bersabar dan mengalah kepada istri bukanlah hal yang merendahkan. Itu bukanlah tanda bahwa ia adalah lemah ataupun tanda ketidakjantanan, seperti yang disangka kebanyakan manusia, suami takut istri. Namun, hal tersebut merupakan akhlak orang-orang yang berilmu dan tanda kedalaman agama yang dimiliki.
Saat Rasulullah menerima perlakuan kasar dari Siti ‘Aisyah, istrinya, beliau tidak merasa harga dirinya turun di hadapan sahabat yang bertamu. Tidak merasa kehormatannya dipermalukan. Tidak merasa khawatir disebut sebagai suami yang tidak mampu mendidik istrinya untuk mengendalikan emosi dan bersabar. Pun, tidak merasa sebagai suami takut istri.
Justru di situlah inti pembelajaran saat menyikapi istri yang sedang merajut. Justru saat Nabi memarahi istrinya di hadapan para sahabat, akan menimbulkan masalah baru. Masalah semula tidak terselesaikan, malah timbul pertengkaran. Nabi tidak melakukan hal itu.
Tentunya, setiap lelaki menginginkan istri yang shalihah, penurut dan tidak memperlakukannya kasar. Itu rumus umum dalam benak suami. Keinginan yang sama, juga dirasakan oleh setiap wanita. Namun demikian, kadang kenyataan tidak sesuai dengan keinginan, sehingga takdir menunjukkan arah jalannya. Sabar, tawakkal, dan qanaah menjadi jalan terbaik untuk menjalaninya. Wallahu a’lam.
M. Masyhuri Mochtar/sidogiri