Islam memiliki definisi pasti, setidaknya bisa kita pahami dengan dua pendekatan idhâfah (penyandaran dua kata). Pertama, pendekatan idhâfah zharfiyah yang menyembunyikan kata “di”. Dalam idhâfah ini, kata kedua berposisi sebagai keterangan tempat atau waktu dari kata yang pertama, sehingga substansi maknanya menjadi “Islam di Nusantara”. Kedua, idhâfah bayâniyah, di mana kata kedua berposisi sebagai keterangan macam atau jenis dari kata yang pertama (Islam Jenis Nusantara).
Dengan pendekatan idhâfah yang pertama, maka tidak ada hal yang patut dipersoalkan dari istilah Islam Nusantara. Namun, jika idhâfah-nya menggunakan pendekatan yang kedua, maka istilah Islam Nusantara berpotensi melahirkan masalah karena mengesankan adanya paham, corak dan bentuk khusus dalam dirinya yang berbeda dari Islam-Islam yang lain.
Jika diibaratkan dengan pembahasan air di dalam fikih, kata “Islam Nusantara” itu ibarat “air sumur” dan “air teh”. Air sumur sah dipakai untuk bersuci karena tambahan kata “sumur” setelah air hanya berposisi sebagai keterangan tempat air, bukan esensi bentuk air. Bedahalnya dengan air teh, tidak sah dibuat bersuci karena tambahan kata “teh” setelah air menunjukkan esensi bentuk air. Air teh sudah bukan air murni karena telah mengalami perubahan mencolok garagara tercampur esensi lain di luar air itu sendiri.
Anggaplah bahwa gagasan Islam Nusantara dicetuskan dengan bertolak dari niat yang baik, khususnya untuk mengakulturasikan Islam dengan budaya setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Atau, untuk membangun semangat Islam yang santun, ramah, damai, dewasa dalam menyikapi perbedaan serta tidak gemar berkonflik. Jika benar demikian, tentu saja, hal ini merupakan tujuan yang sangat baik dan mulia. Sudah seharusnya kita sepakat dan menerima semua itu. Sebab, semangat tersebut merupakan hakikat ajaran Islam sampai kapanpun dan di manapun, bukan hanya di Nusantara.
Sayangnya, tujuan mulia tersebut dibawa oleh orang-orang yang ‘bermasalah’ dan diekspresikan dengan cara yang salah. Tujuan baik saja tidaklah cukup dalam membangun sesuatu yang mulia. Harus juga disertai dengan cara yang baik dan kehati-hatian dalam bersikap.
Beberapa tokoh kunci pencetus Islam Nusantara justru mengkampanyekan gagasan mereka dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang terkesan sinis bahkan merendahkan terhadap Islam Timur Tengah. Akibatnya, tidak sedikit kalangan yang merasa tersakiti oleh kampanye tersebut. Sebab, yang seringkali dikesankan sebagai antitesis Islam Nusantara yang mereka gembar-gemborkan adalah Islam Arab yang notabene merupakan tempat kelahiran Islam.
Sebaik apapun kelebihan yang kita miliki jika kelebihan itu digunakan sebagai bahan untuk mengolok-olok orang lain, maka nilainya menjadi berkurang, dan selanjutnya akan melahirkan respon yang juga bernada olok-olok. Kita boleh-boleh saja menampilkan kelebihan karakter Islam di negeri kita, akan tetapi jangan sampai didasari oleh rasa jumawa, tinggi diri, apalagi sampai mengolok-ngolok atau merendahkan yang lain.
Olok-olok hanya akan menimbulkan kegaduhan dalam bentuk aksi dan reaksi yang sama-sama ekstrem. Ketika ‘Islam Nusantara’ mengolok-olok Islam Timur Tengah karena dilanda konflik berkepanjangan—tanpa mempertimbangkan latar belakang sosial terjadinya konflik tersebut—maka para pembela Timur Tengah pasti akan merespon dengan olok-olok terhadap Islam Nusantara—juga dengan tanpa mempertimbangkan latar belakang dan tujuan dari gagasannya.
Menyederhanakan vonis dan kesimpulan dengan menyatakan bahwa Islam Arab sebagai Islam yang seram, radikal, disebarkan dengan perang, apalagi menyebutnya sebagai Islam abal-abal, bukannya membuat citra Islam Nusantara menjadi semakin kuat dan baik. Hal itu justru mengesankan sikap paranoid dan panik dari orang yang sedang merasa terancam dan kalah bersaing.
Alih-alih mendapat simpati dari masyarakat luas, pernyataan semacam itu justru meledakkan gelombang pro kontra dan memicu tuduhan balasan yang tidak kalah menyakitkan. Bahkan dari kalangan Nahdliyin sendiri, tidak jarang kita temukan orang-orang tertentu yang memberikan respon antipati, dengan menyatakan bahwa Islam Nusantara merupakan nama lain dari Islam Liberal, Islam yang benci Arab, atau bahkan membenci sunah Rasulullah.
Oleh karena itu, tidak terlalu aneh jika gagasan Islam Nusantara mendapat respon penolakan dari beberapa kalangan, meskipun dihias dengan slogan-slogan yang indah . Sebab gagasan ini tidak hanya dibawa oleh tokoh-tokoh kontroversial, namun juga dibumbui dengan sikap dan pernyataan-pernyataan kontroversial.
Mengenai pihak yang kontra Islam Nusantara tersebut, setidaknya kita bisa membagi mereka menjadi tiga kelompok dengan karakteristik yang berbeda satu sama lain. Pertama, kelompok yang sudah terlanjur antipati terhadap tokoh-tokoh pencetusnya karena fanatisme aliran, organisasi atau golongan. Kelompok ini tidak terlalu penting untuk dibahas karena landasan sikapnya sudah jauh dari obyektif yang adil.
Kedua, kelompok yang terlanjur antipati terhadap tokoh-tokoh pencetus Islam Nusantara karena ‘trauma’ terhadap berbagai kontroversi yang telah mereka pertontonkan sejak jauh-jauh hari atau bahkan selama bertahun-tahun. Kelompok ini mengambil sikap waspada karena mencium gelagat mencurigakan di balik slogan-slogan indah Islam Nusantara. Kecurigaan terbesar disebabkan karena pencetus dan pegiatnya rata-rata berasal dari blok Islam liberal.
Baca juga: Jati diri umat dan jatuh bangun peradaban
Ketiga, kelompok yang menolak Islam Nusantara karena melihat fakta bahwa gagasan tersebut untuk sementara ini justru diekspresikan dengan hal-hal kontroversial yang cenderung negatif. Kelompok ini, tidak jarang berasal dari orang-orang pesantren dan kalangan Nahdliyin sendiri.
Apapun itu, jangan pernah berpikir untuk ber-Islam dengan bentuk dan cara yang sesuai dengan selera orang-orang kafir. Kita juga harus jujur, bahwa kata “santun, ramah, damai, dan toleran” kadangkala hanyalah bentuk pretensi dan eufemisme dari kata “lembek, malas, pengecut, apatis dan masa bodoh terhadap urusan agama dan syariat.” Wallâhu a’lam bis-Shawâb.
Ahmad Dairobi/sidogiri