Di panggung sejarah, Tartar tampil digdaya bahkan dimitoskan sebagai bangsa tak terkalahkan. Banyak wilayah Islam yang dibumihanguskan. Sebenarnya, selain faktor eksternal berupa hasutan tentara Salib terhadap Jengis Khan untuk menghancurkan eksistensi Islam, di internal Islam sendiri kondisinya juga begitu memperihatinkan. Sehingga muluslah jalan penaklukan mereka di kawasan muslim.

Dr. Raghib As-Sirjani dalam buku Qishshatut-Tatâr minal-Bidâyah ilâ Ain Jâlût (2006: 376-386) mendiagnosa sepuluh penyakit akut yang menggerogoti tubuh umat kala itu: tidak memiliki identitas (kepribadian) Islam yang jelas, perpecahan umat Islam, gaya hidup mewah dan terpesona dunia, meninggalkan etos jihad, mengabaikan persiapan materil militer, krisis keteladanan (kepemimpinan), adanya para pemimpin loyal dan bekerjasama dengan musuh-musuh umat Islam, frustrasi, menyerahkan urusan bukan kepada ahlinya, dan ketiadaan musyawarah.

Kondisi umat yang sedemikian lemah ini tentu sangat memuluskan jalan Tartar menguasai wilayah umat Islam. Jatuhnya wilayah Khawarizmi Syah (617 H) hingga runtuhnya Baghdad (656 H) sebagai bukti nyata bahwa penyakit-penyakit yang mendera umat Islam sedemikian kronis. Kemenangan berturut-turut ini tentu saja membuat Tartar besar kepala dan jemawa sehingga menyebar mitos bahwa Tartar adalah bangsa digdaya yang tidak mungkin dikalahkan. Bahkan, bangsa yang mendengar nama Tartar, sudah ciut lebih dulu.

Sebelum menuju Mamalik Mesir sebagai sasaran serangan selanjutnya, kaum Tartar telah membumihanguskan Baghdad atas kerjasama dengan Menteri Syiah Muayyiduddin Alqami. Di Baghdad, Tartar menangkap Khalifah Al-Musta’sim dan menyuruhnya melihat rakyatnya yang sedang disembelih di jalan-jalan dan hartanya yang dirampas. Kemudian, Khalifah dibunuh dengan cara dibungkus memakai permadani dan diinjak-injak dengan kuda sampai mati. Semua anaknya dibunuh kecuali satu yang masih kecil dijadikan budak dan dibawa ke Tartar. Sejarawan Islam, Abdullah Wassaf memperkirakan pembantaian warga kota Baghdad mencapai beberapa ratusan ribu orang. Ian Frazier dari majalah The New York Worker memberi perkiraan sekitar 200 ribu sampai dengan 1 juta orang.

Selepas dari Baghdad, barulah Tartar menuju Mesir yang merupakan wilayah strategis sebab menjadi pintu masuk menuju benua Afrika dan Eropa. Kala itu Mamalik dipimpin oleh sultan yang masih belia, Nuruddin Ali. Demi menghadapi serbuan Tartar dan mempertahankan Mamalik, maka pada 12 November 1959, dengan pertimbangan ulama, Saifuddin Quthz akhirnya mengambil alih kendali pemerintahan.

Sebelum melancarkan serangan, Tartar yang dipimpin oleh Kitbugha, mengirim utusan dengan membawa surat untuk menggertak Dinasti Mamalik. Berikut salah satu isi surat tersebut. “… Kami tidak tahu kasih sayang terhadap mereka yang menangis, tidak juga rasa simpati pada mereka yang mengeluh. Kamu mendengar bahwa kami telah menaklukkan negeri-negeri, membersihkan bumi dari kejahatan, dan membunuh kebanyakan manusia.”

Menghadapi ancaman demikian, Saifuddin Quthz sama sekali tidak gentar. Malah, utusan Kitbugha dibunuh karena dianggap menjadi mata-mata untuk menyerang Mamalik. Tentu saja perbuatan Quthz ini membuat orang Tartar naik pitam dan akan segera melakukan penyerbuan.

Dalam kondisi demikian, Sultan yang masih mempunyai hubungan darah dengan Sultan Muhammad Khawarizmi Syah ini dengan cekatan menstabilkan kondisi masyarakatnya. Beliau membuat langkah-langkah strategis: bersinergi dengan ulama (waktu itu menggaet Syeikh Izz bin Abdussalam), menyatukan umat dan membesarkan jiwa mereka, menggalang dana, menyulut kembali ruh jihad, dan mengatur taktik perang. Sultan Saifduddin memilih strategi menyerang, dan memilih Ainun Jalut sebagai medan pertempuran. Beliau ikut turun ke gelanggang memimpin pertempuran bersama Panglima Baibars.

Kedua belah pihak berkemah di tanah suci Palestina pada bulan Juli 1260 dan akhirnya berhadapan di Ain Jalut pada tanggal 3 September dengan kekuatan yang hampir sama yaitu ± 20.000 tentara. Taktik yang dipakai oleh Panglima Baibars adalah dengan memancing keluar pasukan berkuda Tartar yang terkenal hebat sekaligus kejam ke arah lembah sempit sehingga terjebak. Baru kemudian pasukan kuda Panglima Baibars melakukan serangan balik dengan kekuatan penuh yang sebelumnya memang sudah bersembunyi di dekat lembah tersebut.

Akhirnya taktik ini menuai sukses besar. Pasukan berkuda Bani Mamalik secara meyakinkan berhasil mengalahkan pasukan berkuda Tartar yang belum pernah terkalahkan sebelumnya. Pihak Tartar terpaksa mundur dalam kekacauan bahkan panglima perang mereka, Kitbugha, berhasil ditawan dan akhirnya dieksekusi. Pada akhirnya, mitos kedigdayaan Tartar seketika runtuh pada 25 Ramadhan 658 H atau 3 September 1260 M.

Spread the love