Barangkali, merupakan hal yang sangat wajar jika pemerintah menginginkan adanya sertifikasi untuk para juru dakwah. Ada banyak tujuan penting di balik kebijakan ini, seperti menangkal radikalisme, paham menyimpang, gerakan makar, dan lain sebagainya.

Namun demikian, juga sangat wajar jika ada yang mencurigai sertifikasi tersebut sebagai alat untuk menyingkirkan ulama-ulama yang kritis atau yang menjadi lawan politik pemerintah. Selain itu, dapat dicurigai pula sebagai langkah diskriminatif terhadap mazhab dan aliran tertentu, atau intervensi serius terhadap kebebasan berkeyakinan.

Dua perspektif yang berlawanan tersebut pasti akan muncul. Selanjutnya, adalah pilihan masing-masing individu untuk memilih perspektif mana yang akan diadopsi. Terkecuali di negara-negara yang sangat liberal, pencekalan oleh pemerintah terhadap ulama atau cendekiawan tertentu dengan alasan stabilitas atau alasan-alasan lain adalah suatu hal yang lumrah. Hal ini juga telah terjadi di negeri kita, terutama pada masa Orde Baru.

Justru, pada saat kebebasan berbicara dibuka seluas-luasnya di era reformasi, tak jarang pula terjadi hal-hal yang membuat kita merasa tidak nyaman. Kebebasan itu ternyata membawa hingar bingar yang tidak kalah kompleks, termasuk kebebasan berbicara di mimbar dan majlis taklim.

Yang membuat kompleks adalah adanya kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Meskipun jumlahnya mungkin tidak seberapa, namun pengaruhnya dapat dirasakan secara luas. Kelompok moderat, yang sebenarnya mayoritas, sering kali kalah suara.

Entah sudah berapa kali negeri kita ini menjadi gaduh akibat ceramah dari penceramah yang dianggap liberal. Dan, tidak kalah seringnya pula negeri kita menjadi gaduh akibat ceramah dari penceramah yang dianggap radikal. Oleh karena itu, adanya kriteria tertentu untuk mubalig (penceramah) memang sangat penting.

Mubalig memang harus memiliki kualifikasi yang layak. Tidak boleh sembarang orang, agar tidak menyebabkan sesat dan menyesatkan. Mengenai hal ini, mungkin semua orang akan setuju.

Yang perlu dipertimbangkan dan menjadi titik perhatian adalah bagaimana tata kelola, proses, dan ketentuan kualifikasi itu dilakukan. Harus dihindari agar tidak hanya menjadi alat untuk kepentingan kelompok tertentu. Mungkin ada kekhawatiran bahwa yang dicap sebagai ekstrem kanan yang akan dicekal, sementara yang ekstrem kiri dan liberal dibiarkan berkeliaran—seperti kecenderungan yang terjadi di negeri kita saat ini.

Unsur politis dapat membuat sertifikasi dai menjadi semacam cap yang menakutkan bagi para dai yang tidak disenangi penguasa. Hal ini serupa dengan tes wawasan kebangsaan yang dilakukan terhadap pegawai KPK, yang bertujuan menggiring opini publik agar menghakimi orang-orang yang tidak disukai oleh penguasa sebagai orang yang tidak memiliki jiwa kebangsaan atau tidak sesuai dengan Pancasila.

Sertifikasi dai juga berpotensi menjadi semacam pasal karet yang diterapkan berdasarkan selera, suka, dan tidak suka. Ini dapat mengakibatkan ulama menjadi bawahan pejabat, sementara seharusnya posisi ulama tidak boleh menjadi subordinat penguasa. Agama kita menempatkan ulama sebagai korektor penguasa. Oleh karena itu, banyak hadis dan pesan-pesan salaf yang mengingatkan agar ulama menjauh dari pintu istana, agar mereka tetap bisa kritis dan berwibawa di hadapan penguasa.

BARANGKALI, merupakan hal yang sangat wajar jika pemerintah menginginkan adanya sertifikasi untuk para juru dakwah. Ada banyak tujuan penting di balik kebijakan ini, seperti menangkal radikalisme, paham menyimpang, gerakan makar, dan lain sebagainya.

Namun demikian, juga sangat wajar jika ada yang mencurigai sertifikasi tersebut sebagai alat untuk menyingkirkan ulama-ulama yang kritis atau yang menjadi lawan politik pemerintah. Selain itu, dapat dicurigai pula sebagai langkah diskriminatif terhadap mazhab dan aliran tertentu, atau intervensi serius terhadap kebebasan berkeyakinan.

Dua perspektif yang berlawanan tersebut pasti akan muncul. Selanjutnya, adalah pilihan masing-masing individu untuk memilih perspektif mana yang akan diadopsi. Terkecuali di negara-negara yang sangat liberal, pencekalan oleh pemerintah terhadap ulama atau cendekiawan tertentu dengan alasan stabilitas atau alasan-alasan lain adalah suatu hal yang lumrah. Hal ini juga telah terjadi di negeri kita, terutama pada masa Orde Baru.

Justru, pada saat kebebasan berbicara dibuka seluas-luasnya di era reformasi, tak jarang pula terjadi hal-hal yang membuat kita merasa tidak nyaman. Kebebasan itu ternyata membawa hingar bingar yang tidak kalah kompleks, termasuk kebebasan berbicara di mimbar dan majlis taklim.

Yang membuat kompleks adalah adanya kelompok ekstrem kanan dan ekstrem kiri. Meskipun jumlahnya mungkin tidak seberapa, namun pengaruhnya dapat dirasakan secara luas. Kelompok moderat, yang sebenarnya mayoritas, sering kali kalah suara.

Entah sudah berapa kali negeri kita ini menjadi gaduh akibat ceramah dari penceramah yang dianggap liberal. Dan, tidak kalah seringnya pula negeri kita menjadi gaduh akibat ceramah dari penceramah yang dianggap radikal. Oleh karena itu, adanya kriteria tertentu untuk mubalig (penceramah) memang sangat penting.

Mubalig memang harus memiliki kualifikasi yang layak. Tidak boleh sembarang orang, agar tidak menyebabkan sesat dan menyesatkan. Mengenai hal ini, mungkin semua orang akan setuju.

Yang perlu dipertimbangkan dan menjadi titik perhatian adalah bagaimana tata kelola, proses, dan ketentuan kualifikasi itu dilakukan. Harus dihindari agar tidak hanya menjadi alat untuk kepentingan kelompok tertentu. Mungkin ada kekhawatiran bahwa yang dicap sebagai ekstrem kanan yang akan dicekal, sementara yang ekstrem kiri dan liberal dibiarkan berkeliaran—seperti kecenderungan yang terjadi di negeri kita saat ini.

Unsur politis dapat membuat sertifikasi dai menjadi semacam cap yang menakutkan bagi para dai yang tidak disenangi penguasa. Hal ini serupa dengan tes wawasan kebangsaan yang dilakukan terhadap pegawai KPK, yang bertujuan menggiring opini publik agar menghakimi orang-orang yang tidak disukai oleh penguasa sebagai orang yang tidak memiliki jiwa kebangsaan atau tidak sesuai dengan Pancasila.

Rasulullah  bersabda:

العُلَمَاءُ ‌أُمَنَاءُ ‌الرُّسُلِ ‌مَا لَمْ يُخَالِطُوْا السُّلْطَانَ وَيُدَاخِلُوْا الدُّنْيَا فَإذَا خَالَطُوْا السُّلْطَانَ وَدَاخَلُوْا الدُّنْيَا فَقَدْ خَانُوْا الرُّسُلَ فَاحْذَرُوْهُمْ

“Ulama adalah orang-orang kepercayaan Rasul selagi mereka tidak akrab dengan penguasa dan memasuki kepentingan duniawi. Bila mereka akrab dengan penguasa dan memasuki kepentingan duniawi, maka mereka telah mengkhianati Rasul. Maka, hati-hatilah terhadap mereka.”

Hadis ini dhaif, dikutip oleh Imam as-Suyuthi dalam al-Jami’ as-Shaghir dan banyak dikutip dalam kitab-kitab tasawuf.

Para ulama merupakan kepercayaan Rasul untuk melawan arus ketidakbenaran dan ketidakadilan. Itulah perjuangan para Rasul: diutus di tengah-tengah arus yang buruk untuk melawan, memberantas, dan mengubahnya ke arah yang benar.

Salah satu arus yang paling kuat adalah arus kekuasaan yang menjadi pendorong kesesatan akidah dan perilaku buruk. Oleh karena itu, sepanjang sejarah, para Rasul pada umumnya melawan penguasa. Tugas tersebut kemudian diwariskan kepada para ulama untuk melanjutkan perjuangan tersebut.

Karena itu, hadis di atas melarang ulama untuk terlalu akrab dengan penguasa. Dalam konteks ini, “terlalu akrab” bukan hanya sekadar kedekatan biasa, melainkan kedekatan yang dapat membuat para ulama kehilangan sikap kritisnya dan menjadi patuh kepada penguasa.

Nah, sertifikasi dai memiliki potensi untuk menjadikan ulama yang disertifikasi sebagai ‘ulama plat merah’, yaitu ulama yang menyuarakan pandangan sesuai dengan keinginan penguasa. Mereka mungkin tidak berani menyatakan yang benar jika hal itu bertentangan dengan kebijakan penguasa. Padahal, menyatakan kebenaran di tengah cengkeraman kekuasaan yang tidak benar merupakan perjuangan utama bagi para ulama.

Banyak ajaran dalam agama kita yang dulunya disampaikan dengan sangat gencar oleh para ulama di negeri ini, namun sekarang sudah tidak lagi. Para penceramah cenderung memilih tema yang aman, sesuai dengan selera publik, dan keinginan penguasa. Bahkan untuk menyatakan bahwa “Non Muslim itu kafir,” para penceramah masa kini seringkali mengurangi keberanian. Padahal, pandangan ini merupakan prinsip mendasar dalam akidah kita.

Sebelum disertifikasi, seorang dai mungkin lebih berani dan tegas dalam menyampaikan ajaran-ajaran agama, tanpa takut akan konsekuensi politis. Namun, setelah mendapatkan sertifikasi, ada potensi bahwa ucapan mereka akan disesuaikan dengan kebijakan atau pesanan dari penguasa. Mereka mungkin tidak berani menyuarakan kebenaran yang mungkin tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

kali mengurangi keberanian. Padahal, pandangan ini merupakan prinsip mendasar dalam akidah kita.

Ahmad Dairobi/sidogiri

Spread the love