Ulama plus Wali Penentang Kezaliman Pemerintah
Nama lengkapnya adalah Imam Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min Al-Hishni ad-Dimasyqi. Nasab beliau bersambung kepada Rasulullah saw melalui jalur Sayyidin Husain, yakni Abu Bakar bin Muhammad bin Abdul Mu’min bin Hariz bin Mualla bin Musa bin Hariz bin Sa`id bin Dawud bin Qasim bin Ali bin Alawi bin Nasyib bin Jawhar bin Ali bin Abi al-Qasim bin Salim bin Abdullah bin Umar bin Musa bin Yahya bin Ali al-Ashghar bin Muhammad at-Taqiy bin Hasan al-Askari bin Ali al-Askari bin Muhammad al-Jawad bin Ali ar-Ridha bin Musa al-Kadzim bin Ja’far ash-Shodiq bin Muhammad al-Baqir bin Zainal Abidin Ali bin al-Husain bin Ali bin Abi Thalib.
Penganut teologi Asy’ariyah ini merupakan ulama mazhab Syafi’i asal Damaskus, ibu kota Suriah, yang lahir pada tahun 752-829 H/1351-1426 M. Syekh Abu Bakar ini dikenal dengan julukan Taqiyuddin’ (orang yang apik dalam beragama), sedangkan penyebutan al-Hishni karena nisbat kepada tempat kelahiran beliau, Desa Hishn, salah satu desa yang berada di Kota Hauran, Suriah selatan.
Sebagaimana lazimnya ulama dahulu yang gemar menulis karya, demikian juga dengan Imam Taqiyuddin al-Hishni. Pakar fikih mazhab Syafii yang juga penganut akidah Asy’ariyah ini banyak menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu keagamaan. Salah satu magum opusnya yang terkenal di dunia pesantren adalah Kifâyatul-Akhyâr fi Halli al-Fâzhi Ghâyatil-Ikhtishâr.
Kitab tidak terlalu menekankan pada masalah kebahasaan, tapi lebih menghadirkan diversitas pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i, serta menyebutkan masing-masing kitab fikih yang dijadikan referensi, semisal al-Muharrar karya ar-Rafi’i, dan Raudhatut-Thâlibin karya Imam an-Nawawi. Dengan diawali dengan dalil Al-Quran dan Hadits sebagai pengantarnya sebelum memasuki inti pembahasan.
Selain Kifayatul-Akhyar ada pula kitab-kitab karya beliau di bidang yang lain, seperti Syarhul-Asmâ’ al-Husnâ, Syarhut-Tanbîh, Takhrîju Ahadîtsil-Ihyâ, Qam’u-Nufûs’, Tanbîhus-Sâlik, Kitâbul-Qawâ’id, Ahwâlul-Qubûr, dan Daf’u Syubahin Man Syabbaha wa Tamarrada wa Nasaba Dzalik Ila Imam Ahmad. Karya yang terakhir ini merupakan bantahan terhadap kelompok yang menisbatkan ajaran-ajaran nyeleneh kepada Imam Ahmad bin Hanbal. Di dalamnya juga membahas tentang pemikiran Imam Ibnu Taimiyyah al-Harrani yang menjadi embrio munculnya pemikiran Wahhabi, yakni anti Mazhabisme.
Tentunya, kecerdasan, kealiman dan luasnya wawasan keilmuan Taqiyuddin al-Hishni tidak diperoleh tanpa usaha. Banyak ulama yang diserap ilmunya oleh beliau, baik saat di tanah kelahirannya maupun di daerah lain. Di antara guru-guru beliau adalah Imam Shadruddin Sulaiman bin Yusuf al-Yasufi, Syekh Syarafuddin Isa bin Utsman al-Ghazi, Imam Syihabuddin Ahmad bin Shaleh az-Zuhri, Imam Abul Abbas Najmuddin Ahmad bin Utsman bin Isa al-Jabi.
Selain masyhur dengan keilmuannya, Taqiyuddin Abu Bakar Al-Hishni juga dikenal sebagai wali Allah swt yang memiliki karamah luar biasa. Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani (buyut pendiri Hizbut Tahrir, Taqiyuddin An-Nabhani) dalam kitabnya Jâmi` Karamâtil-Awliyâ’ juz 1 halaman 621- 622, menurutkan, sewaktu para mujahidin berperang di Cyprus, banyak di antara mereka yang melihat Imam Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni juga ikut berpedang dan maju ke medan laga, sehingga akhirnya tentara Islam memperoleh kemenangan dan berhasil memukul mundur pasukan lawan.
Ketika para prajurit mengisahkan kekaguman itu kepada para santri beliau di Damaskus, para santri itu mengatakan, bahwa Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni, tetap berada di dalem-nya, tidak pergi kemana-mana dan senantiasa mengajarkan ilmunya kepada santri-santrinya di Damaskus.
Karamah beliau juga terlihat oleh orang-orang yang sedang melaksanakan ibadah haji. Mereka dengan mata kepala menyaksikan bahwa Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hishni kerap kali berada di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah tengah melaksanakan ibadah haji, tapi dalam waktu yang sama justru santri-santrinya dengan jelas melihat beliau berada di rumahnya, Damaskus.
Hal yang jarang juga dijumpai pada ulama-ulama sekelasnya, yaitu beliau tidak sungkan dan merasa risih bergumul dan bergaul dengan masyarakat sekitar, bahkan dengan santrinya sekalipun. Akhlak dan perilakunya yang tawadhu dan luhur ini menjadi tanda pengenal beliau. Seorang wali, ulama yang berakhlak mulia, dan tidak sombong. Bahkan dalam satu riwayat, Syekh Taqiyuddin Abu Bakar al-Hisni terbiasa keluar bersama muridnya, berkumpul dan berdiskusi tema-tema keagamaan.
Kepribadian dan sikap yang lain adalah beliau sangat anti terhadap pemerintah yang zalim dan menyimpang dari kebenaran dan nilai-nilai keislaman. Tidak hanya di situ, ulama-ulama yang pro terhadap pemerintah dengan menerima semua kebijakan mereka tak luput dari bidikan beliau. Dalam salah satu kitabnya beliau dengan tegas mengatakan: “Musibah besar yang terjadi saat ini adalah perbuatan pemimpin koruptor yang menyedekahkan uang haramnya untuk meracuni orang-orang fakir- miskin. Lebih parah lagi, diamnya ulama-ulama penjilat yang tidak berani mengkritik kezaliman pemerintah”.
Demikianlah riwayat hidup imam besar mazhab syafii ini. Di akhir usianya, beliau menghabiskan waktunya di Masjid al-Mazar selama beberapa tahun, guna beribadah dan memberikan pengajian seputar ilmu-ilmu keagamaan kepada jamaah yang datang ke masjid tersebut.
Usia yang semakin menuat tidak serta-merta membuat antusisme beliau memudar. Bahkan di saat kondisi tubuh lemah, beliau tetap mengajar dan membimbing umat ke jalan yang benar.
Beliau menutup usianya pada tanggal 14 Bulan Jumadal Akhir tahun 829 H/1426 M, dan dimakamkan di dekat masjid Damaskus bersanding dengan makam ibudanya. Ribuan muhibbin baik dari kalangan ulama maupun yang awam datang memadati Kota Damaskus kala itu, untuk melihat prosesi peristirahatan terakhir sang imam yang dikenal alim, wali, berbudi luhur dan anti kezaliman pemerintah.[]
Afifuddin/sidogiri