Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Daraqutni Rasulullah menyebutkan bahwa agama Islam itu ya’lû walâ yu’lâ ‘alaih, akan selalu tinggi dan tidak ada yang bisa mengalahkan ketinggiannya. Namun bila melihat kondisi umat Islam saat ini, sepertinya kontrapoduktif dengan pernyataan tegas Rasulullah dalam hadis tersebut. Benarkah? Berikut wawancara Alil Wafa dari Sidogiri Media dengan Dr. TGB. Muhammad Zainul Majdi, M.A atau lebih akrab dengan sebutan Tuan Guru Bajang, Ulama Muda Kharismatik yang juga Gubernur Nusa Tenggara Barat, di kantor Gubernur NTB beberapa waktu lalu.
Gambaran kondisi umat Islam saat ini?
Kondisi umat Islam saat ini, secara umum bila mau disebutkan dalam satu kata, memprihatinkan. Karena hal-hal yang perlu dibenahi jauh lebih banyak dari pada hal-hal yang bisa ditawarkan kepada umat manusia. Jarak antara tuntunan Allah I dan Rasulnya atau normatif yang diajarkan agama dengan kenyatannya, gaib atau jurangnya masih sangat lebar. Karena masih sangat lebar itu tentu kita mengatakan masih sangat perlu dibenahi.
Tapi, ini sisi baiknya adalah, bahwa situasi memprihatinkan tidak pertama kali terjadi dalam sejarah. Bahkan situasi seperti ini kalau kita tarik awal sekali, pada masa Rasulullah r, pada saat perang Uhud, keadaannya ketika itu bisa kita katakan lebih memprihatinkan, bahkan lebih berat dibanding kita, karena ada goncangan- goncangan keimanan juga. Tapi itu kemudian menjadi momentum untuk segera membenahi diri besar-besaran, membangun kedekatan antar element umat Islam, dan itu yang paling penting menurut saya.
Jadi kalau kita bicara tentang ukhuwah insaniyah, ukhuwah wathaniyah, atau ukhuwah umamiyah misalnya, bagi umat Islam ya kita memulainya dengan ukhuwah Islamiyah. Rekatkanlah kesemuanya sehingga menjadi satu kesatuan yang kuat lalu kemudian merekatkan diri dengan umat-umat yang lain.
Jadi keadaan sekarang ini menurut saya hikmah dari Allah. Apa yang sudah terjadi itulah yang terbaik untuk sekarang, dalam artian kita hadapi realitas ini, kita benahi, seperti pasca Uhud.
Setelah itu masa Khulafaur Rasyidun, tidak lama kemudian berganti menjadi Dinasti Umaiyah. Ketika itu juga ada hal-hal yang sebelumnya bagus kemudian menjadi kendor. Orientasi yang sebelumnya adalah membangun peradaban, walaupun secara materi tidak mesti dia yang terbaik, tapi di masa sebelumnya menawarkan nilainilai mulia. Kemudian agak bergeser menjadi peradaban yang menjadikan materi itu sebagai bagian yang sangat penting. Tapi kemudian ada koreksi lagi, dan terus ada koreksi dari waktu ke waktu.
Kalau melihat kondisi sekarang, sejarah itu merupakan repetisi, berulang, ada pasang ada surut. Nah sekarang ini bisa dikatakan kita surut. Namun dalam titik tertentu, kalau sudah turun pada titik terbawah, maka akan segera naik, insyâ’allah. Mudahmudahan dengan usaha bersama untuk mengoreksi diri, bermuhasabah, khususnya muhasabah yang paling penting adalah sejauh mana selama ini kita telah sungguh-sungguh ber-Islam, sejauh mana selama ini kita menjadikan Islam sebagai tuntunan hidup kita.
Jika lingkupnya diperkecil, bagaimana dengan kondisi umat Islam Indonesia?
Indonesia ini adalah miniatur alam, miniatur umat Islam di dunia. Jadi kalau dalam konteks Indonesia, kondisi umat Islam juga tidak jauh dari itu, memprihatinkan. Tapi sekali lagi dalam konteks Indonesia pun setelah turun sebawah yang memungkinkan, sekarang mulai ada kenaikan lagi. Yang paling penting adalah ketika ada arus balik yang kuat, maka perlu ada peran dari ulama untuk mengarahkan energi besar ini, dipandu menuju hal yang bermanfaat, bukan hanya jangka pendek saja, tetapi terus-menerus dari generasi ke generasi.
Saya pikir inilah potret sederhananya, bahwa ini adalah peluang besar. Ada arus balik umat ingin tahu agamanya lebih serius lagi, dan peristiwa-peristiwa yang terjadi ya kita maknakan seperti itu. Semua itu adalah untaian-untaian pelajaran seperti satu untaian tasbih. Ketika pelajaran itu utuh kemudian direnungkan, kemudian diambil ibrah darinya, maka secara pribadi maupun secara kolektif umat Islam akan lebih lagi pada masa yang akan datang.
Memahami Islam ya’lû walâ yu’lâ ‘alaih (Islam akan selalu di atas, tidak akan pernah di bawah)?
Itu adalah hakikat Islam, dalam keadaan apapun. Pertama adalah keyakinan, jadi kita sebagai umat Islam meyakini bahwa ajaran yang dibawa oleh Nabi kita, Muhammad, itu adalah muhaimin. Artinya al-Quran itu menyerap semua yang terbaik dari kitab-kitab sebelumnya. Rasulullah juga mengintisarikan akhlak yang terbaik dari diri para nabi dan rasul. Nah dalam konteks itu, bahwa Islam yang dibawa oleh nabi kita adalah intisari dari semua kebaikan-kebaikan sebelumnya, maka dengan sendirinya dia berada di posisi yang selalu menjadi rujukan. Itulah al Islam ya’lû. Sadar atau tidak, suka atau tidak.
Dalam konteks makna ini, ketika misalnya ada arus orang-orang pandai masuk ke dalam agama Islam di Barat. Kuat sekali arusnya dan tidak bisa dilawan oleh siapapun. Islam itu menjadi idola, Islam itu menjadi obsesi, Islam itu menjadi keingintahuan yang luar biasa, menarik orang masuk Islam. Mereka adalah orang yang standar pendidikannya tinggi, bahkan para ilmuwan. Jadi ketika seseorang memaksimalkan akalnya dia pasti akan menuju kepada Islam.
Jadi secara konsepsi, dia adalah panduan yang paling utuh, berada pada posisi kedudukan yang paling sempurna, setebal apapun kabut yang menutupinya. Kabut itu ya keadaan umat sekrang. Nah inilah tantangan kita untuk memberikan differensiasi antara Islam sebagai ajaran dengan prilaku umat. Kalau kita punya differensiasi yang jelas, perbedaan yang tegas, kita tidak akan salah paham terhadap kondisi yang ada. Islam adalah yang paling sempurna, setebal apaun kabut yang menutupinya. Dan tugas kita adalah menyibak kabut itu pelan-pelan dengan menyampaikan ajaran Islam yang benar.
Hal-hal yang bisa ditawarkan kepada manusia adalah, di antara semangat al-Quran disebutkan wa mâ arsalnâka illâ rahmatan lil ‘âlamîn. Sebenarnya ungkapan itu menunjukkan konsekuensi dari kita, umat Islam, ketika sudah bisa menjadi syuhadâ’ ‘alan-nâs, ketika kita sudah mampu menjadi umat yang wasathan. Wasathan tidak mesti diartikan secara matematis harus berada di tengah, tetapi harus selalu dalam kebenaran, dalam keistiqamahan, dalam kekonsistenan menjalani tuntunan agama. Kalau kita sudah umat yang wasathan pasti akan menjadi rahmatan lil ‘âlamîn.