Salah satu amalan yang kerap dibid’ahkan oleh kalangan Wahabi adalah peringatan Maulid Nabi. Ada saja yang dikritisi. Awalnya ilmiah, setelah dijawab dan argumen mereka mampu dipatahkan, akhirnya mengkritisi pelaksanaannya yang dianggap berlebihan. Sebenarnya apa penyebab Wahabi masih saja gagal paham dengan pelaksanaan Maulid Nabi tersebut? Berikut hasil wawancara N. Shalihin Damiri dari Sidogiri Media dengan KH. Muhyiddin Abdusshomad, Pengasuh PP. Nurul Islam dan Rois Syuriah PCNU Jember.
Apa penyebab Wahabi masih gagal paham?
Jadi istilah ‘gagal paham’ itu dari kita, kan, ya. Kalau menurut mereka, ya, kita yang gagal paham. Tapi kita mencoba memahami apa yang menjadi perasaan mereka. Memang kalau melihat pada kenyataannya, kadang-kadang apa yang menjadi pendapat orang Wahabi itu sulit dinalar. Karena mereka tidak konsisten terhadap logika yang mereka bangun.
Jadi di satu sisi, orang Wahabi, mufti-muftinya, mengharamkan memperingati Maulid Nabi dengan alasan tidak pernah dilakukan oleh Nabi, tidak pernah dilakukan oleh Khulafaurrasyidin, tidak pernah dilakukan oleh shahabat, tidak pernah dilakukan oleh tabiin. Mereka menganggap bahwa itu adalah penambahan dalam sisi ibadah, sedangkan ibadah itu hanya berdasarkan apa yang telah dicontohkan oleh Nabi, shahabat dan salafusshalih.
Tetapi mereka bergeser dari teori berpegang teguh pada ulama salaf itu. Karena dalam fatwa Abdullah bin Abdul Aziz bin Baz, dalam kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawiah, itu disebutkan bahwa Maulid Nabi itu haram, bidah yang sesat. Tetapi memperingati atsar perjuangan Muhammad bin Abdul Wahab itu wajib dan itu dianggap min afdhalil qurab, termasuk ibadah yang paling utama. Ini, kan, kita sulit memahami nalar orang Wahabi itu.
Sebenarnya ada apa di balik keyakinan itu? Mengapa kalau merayakan hari kelahiran Nabi, sebagai wujud rasa cinta, dari rasa ingin mengambil uswah dari berbagai syamail (kelebihan) yang dilakukan oleh Nabi untuk kita teladani, itu justru diharamkan? Tetapi kalau memperingati hari kelahiran tokoh mereka, Muhammad bin Abdul Wahab, itu dianggap wajib dan ibadah yang paling utama? Nah, ketidakkonsistenan itu.
Kan alasannya begini, (ketika ditanya, red) kenapa memperingati hari lahir tokoh mereka, bahkan tiap pekan? Alasannya karena ta’awun ala khair… Sebenarnya logika itu jika kita gunakan untuk Maulid, jadinya kita paham. Tetapi kenapa kalau kepada Nabi tidak mau dan kalau ke junjungan mereka (malah) mau dan secara berlebihan sampai dianggap wajib, disebut min afdhalil qurab?
(Beliau membaca teks dari kitab Majmu’ Fatawa wa Maqalat Mutanawwiah, juz 1, hal 382, karya Ibnu Baz. Teks itu berisi tentang kebolehan merayakan usbu’ Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan tidak bolehnya merayakan Maulid Nabi beserta alasan-alasannya)
Jadi, mengapa mereka gagal paham, karena mereka tidak konsisten dalam berlogika, tidak konsisten dalam mengambil sebuah cara menetapkan hukum. Sesungguhnya, seandainya logika (penghormatan) yang kepada Syekh Muhammad bin Abdul Wahab itu dijadikan kerangka berpikir untuk (menghormati) Rasulullah, kan, sama isinya, bahkan lebih.
Coba lihat ini (beliau menunjukkan teks kitab Majmu’ lagi), pertama ada ta’awun ‘alal-khair. Iya, pasti di dalam Maulid Nabi itu ada ta’awun ‘alal-khair, tolong menolong dalam kebaikan, tasyawurun fil-ma’ruf, bahtsun lil-wushul ilal-afdhal. Semua itu ada dalam pelaksanaan Maulid Nabi.
Agar mereka bisa memahami maulid seperti yang kita pahami, bagaimana?
Begini, mungkin saja dan itu bukan sesuatu yang mustahil, mereka itu sudah paham, sudah tahu argumen-argumen kita. Tetapi di sana ada yang namanya politik identitas. Artinya mereka ingin menunjukkan eksistensi diri, sebagai ciri khas dari mereka. Bisa saja seperti itu.
Dan saya kira sulit untuk menjadikan mereka itu sejalan dengan kita. Karena ada semacam harga diri dan lain sebagainya. Walaupun insyaallah mereka tahu bahwa dasar-dasar kita itu kuat. Karena dari pengalaman Sayyid Muhammad bin Alawi al-Maliki dalam berdebat dengan Wahabi pada tahun-tahun 80-an, kan seru. Sampai ada buku yang terbit untuk itu seperti Haulal-Ihtifal bi-Maulidir Rasul dan lain-lain.
Sebenarnya kalau mau membaca itu sudah cukup, ya. Tapi menurut saksi mata, kawan-kawan yang pernah ikut dialog Sayyid Muhammad, tokoh-tokoh Wahabi itu ketika di depan Sayyid tidak bisa bicara dan berargumen, kecuali mengganggu saja saat Sayyid Muhammad mengajar di Masjidil Haram. Diganggu dan dibubarkan dan kemudian Sayyid Muhammad memilih berhenti mengajar di sana.
Jadi yang pertama mereka tidak konsisten dalam berlogika dan yang kedua mereka lebih tekstual. Tapi usbu’ Muhammad bin Wahab itu tidak tekstual juga. Itu pakai akal. Nah ini, kita tidak bisa menjangkau cara berpikir orang Wahabi.
Kita banyak ‘ditembak’ dalam pelaksanaannya, kiai.
Ya, itu kan diada-adakan saja. Orang itu dalam segala urusan mesti ada kekurangan dan ada kelebihan. Mesti ada akibat-akibat sampingan. Semua yang bersifat berlebihan adalah tugas kita untuk memperbaiki. Karena Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari saja dalam salah satu kitabnya tidak setuju dengan peringatan maulid yang di dalamnya ada maksiat.
Nah, berangkat dari kitab itu, beliau bukan tidak setuju dengan peringatan maulidnya, tetapi tidak setuju pada campur baur laki-perempuan, buka aurat, kemudian judi. Itu yang terjadi di zaman beliau. Jangan sampai hal-hal maksiat tadi itu dianggap baik.
Harapan jenengan…
Paham Ahlusunnah yang telah diajarkan oleh guru itu adalah pusaka. Insyaallah para santri, khususnya santri Sidogiri dan alumninya akan terus mengawal, termasuk di dalamnya adalah tradisi Maulid Nabi.
Kata Sayid Muhammad, maulid ini ya tidak sunnah, tidak wajib juga tidak haram. Hanya amrun mubah. Jika ada ekses negatif dari pelaksanaan peringatan itu, adalah tugas kita bersama untuk memperbaiki.
Memang kalau dipikir secara rasional, keberadaan Aswaja yang ada di tengah-tengah masyarakat ini, kalau melihat kerja-kerja mereka (Wahabi), mulai dari PAUD hingga perguruan tinggi, itu rasanya tidak terlalu lama Aswaja ini akan punah. Banyak para pakar berpikir demikian, namun saya membantah hal itu.
Karena di NU sendiri, di Jember ini, betapa sulitnya mencari pengurus NU itu. Mencari sumber dayanya sangat sulit. Padahal Jember, Pasuruan dan Jombang itu gudangnya NU. Tapi di Jember Kota di tiga kecamatan, untuk mendapatkan pengurus (yang kemampuannya) kayak lulusan Aliyah Sidogiri itu gak ketemu. Kalau ada, kadang tidak mau.
Ya, yang di pesantren mudah-mudahan lebih rajin belajar untuk menjaga segala amalan yang diajarkan para guru-guru kita. Amin.
Baca juga: Saya Hanya Menolak Mudharat