Baru-baru ini pernyataan seorang tokoh bergelar profesor-doktor menjadi viral di media sosial. Dia menulis di akun media sosialnya, bahwa “Dakwah kita ialah meng-Indonesiakan Islam, bukan meng-Islamkan Indonesia.” Sebenarnya pernyataan serupa telah berdengung sejak lama, hanya saja topik ini menjadi ramai kembali sebab disuarakan ulang oleh sosok yang ditokohkan oleh banyak orang. Jadi bagaimana mestinya kita memahami pernyataan seperti itu?
Jawaban
Pernyataan tersebut tentunya muncul dari mereka yang kurang memahami hakikat Islam, atau memiliki pemahaman yang keliru tentang Islam. Lumrahnya, pernyataan seperti itu digembar-gemborkan oleh kelompok liberal, sebab mereka memahami bahwa Islam itu harus tunduk pada dinamika sejarah, serta perubahan ruang dan waktu.
Padahal, Islam adalah agama wahyu yang universal, final, dan abadi, sehingga tidak menerima perubahan-perubahan apapun pada prinsip-prinsip dan pokok-pokok ajarannya. Kendati tentu, Islam memiliki konsep yang elastis sehingga memungkinkannya untuk mengakomodir berbagai nilai, konsep, tradisi, dan budaya apapun yang datang dari luarnya, sepanjang tidak bertentangan dengan pokok-pokok dan prinsip-prinsip ajaran Islam tadi.
Jadi “Meng-Indonesiakan Islam” itu ialah ungkapan yang muncul dari ketidakpahaman terhadap hakikat Islam. Mereka mengira Islam itu bagian dari budaya, sehingga agama ini bisa berubah-ubah dari satu tempat ke tempat lain, dari satu waktu ke waktu yang lain. Padahal yang terjadi, Islam senantiasa mengakomodir segala apa yang ada di ruang dan waktu yang berbeda-beda itu, sepanjang ia tak bertentangan dengan prinsip dan ajaran pokok Islam. Kendati mungkin tradisi keberagamaan Islam di satu tempat tampilan luarnya berbeda dengan di tempat lain, tapi itu tak meniscayakan Islam yang berbeda-beda.
Baca juga: Ajaran Islam Itu ‘Oplosan’?
Misalnya, perbedaan desain dan arsitektur bangunan masjid, model-model pakaian muslimin dan muslimah, perbedaan rupa dan seremonial peringatan acara-acara keagamaan, serta hal-hal lain yang semacamnya. Semua itu tak lebih dari sekadar perbedaan tampilan luar yang terbentuk oleh keberagaman tradisi dan budaya semata, tanpa mempengaruhi terhadap inti ajaran agama sama sekali.
Bagaimana mungkin Islam di Indonesia diasumsikan berbeda dengan Islam di Arab, sehingga perlu dilakukan Indonesianisasi terhadap Islam, padahal Islam turun di Arab justru meng-Islamkan Arab, dan bukan Islam yang di-Arab-kan. Sehingga segala bentuk kepercayaan, kebiasaan, tradisi dan budaya di Arab yang tak sesuai dengan Islam diberangus total, dan hanya menyisakan apa yang sesuai dengan Islam. Hal yang sama juga terjadi di Indonesia, ketika para wali dan dai datang meng-Islamkan Indonesia.