Dewasa ini “toleransi” tidak saja menjadi komoditas yang hot, melainkan juga menjadi agenda bagi sebagian pihak, sehingga tak heran jika kemudian ia dipropagandakan dan bahkan dipaksakan. Maka dari itu, toleransi yang semestinya menjadi sumber ketenangan malah menjadi pemantik kegaduhan. Di sini, memperbincangkan toleransi dengan kepala dingin dan kejernihan nalar menemukan relevansinya, dan karena itu penting dilakukan.
Mari kita mulai dari pemahaman terhadap hakikat toleransi itu sendiri. Dalam bahasa Arab, toleransi dibahasakan dengan “tasamuh”, di mana tasamuh didefinisikan dengan “merelakan hak atas dasar berbuat baik”. Artinya, kita sebenarnya memiliki hak yang menjadi beban dan mesti ditunaikan oleh orang lain kepada kita, namun kita merelakan hak itu dan membebaskan dia dari beban itu, karena kita berbuat baik kepadanya.
Baca Juga: Waria, Diskriminasi Dan Toleransi
Jika demikian halnya, maka toleransi bisa terlaksana jika dilakukan secara sukarela, dan tidak diwujudkan dengan paksaan. Begitu pula, toleransi dengan demikian hanya bisa berlaku dalam ranah akhlak dalam relasi sosial, dan tidak bisa ditetapkan sebagai hukum tetap yang harus diterapkan tanpa bisa ditawar, semisal hukum dalam jual beli dan transaksi keuangan yang lain.
Kesimpulan ini berkesuaian dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang mendefinisikan toleransi dengan “bersikap toleran”. Sedangkan toleran diartikan “bersikap atau bersifat menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan, dan sebagainya) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri.”
Lalu apa jadinya jika toleransi dipaksakan, semisal dijadikan syarat dalam sebuah kontrak? Tentu dengan demikian telah terjadi kezaliman terhadap salah satu pihak. Karena toleransi adalah merelakan hak atas dasar berbuat baik, maka ia harus terjadi secara sukarela dalam ruang akhlak, bukan dipaksakan dalam kontrak yang mengikat. Karena jika saya punya barang seharga 10.000 lalu dipaksa harus menjualnya dengan harga 7.000 atas dasar toleransi kepada pembeli, berarti telah terjadi kezaliman pada saya. Lain halnya jika saya melakukan hal itu atas dasar sukarela.
Baca Juga: Islam Menjamin Toleransi
Logika itulah yang membikin kita harus mengoreksi pihak-pihak yang memaksakan toleransi, atau bahkan menerapkan toleransi tidak pada tempatnya. Karena selain tak bisa diterapkan dalam hukum pasti, toleransi juga tak bisa diterapkan dalam akidah. Toleransi dalam akidah adalah hal yang absurd, karena itu adalah wilayah keyakinan. Kita bisa bertoleransi dalam masalah keyakinan hanya jika kita tidak memiliki keyakinan itu. Nah, absurd, bukan? Karena itu toleransi tidak terletak pada akidah itu sendiri, melainkan terletak pada akhlak, yakni akhlak kita kepada orang yang berkeyakinan lain, atau memeluk agama yang berbeda dengan kita.
Itulah sebabnya kenapa pluralisme agama itu termasuk pemikiran yang jahat dan antitoleransi, kendati para pengusungnya bertopeng di balik toleransi. Karena setiap pemeluk agama dilarang meyakini kebenaran agama mereka masing-masing, tapi diminta mengimani absolutisme paham pluralisme agama!