طَلَبُكَ مِنْهُ اِتهَّامٌ لَهُ. وَطَلَبُكَ لَهُ غَيْبَةٌ مِنْكَ عَنْهُ. وَطَلَبُكَ لِغَيْرهِ لِقِلَّةِ حَيَائِكَ مِنْهُ. وَطَلَبُكَ مِنْ غَيْرِهِ لِوُجُودِ بُعْدِكَ عَنْهُ
“Meminta kepada Allah SWT berarti berburuk sangka kepada-Nya. Mencari Allah SWT, berarti tidak menganggap-Nya ada. Mencari selain Allah SWT, berarti tidak malu kepada-Nya. Meminta kepada selain Allah SWT, semata karena merasa makin jauh dari-Nya.”
Hikmah ini mengandung 4 frasa, yang masingmasing memiliki makna berbeda. Memahaminya dengan penuh seksama adalah keharusan, demi menghindari kerancuan makna. Berikut uraian lengkapnya.
Pertama, “meminta kepada Allah SWT berarti berburuk sangka kepada- Nya”. Kita tahu bahwa Namrud memutuskan untuk menghukum Nabi Ibrahim AS lantaran telah menghancurkan sesembahannya. Sang raja lalim mentitah untuk menyiapkan perapian. Nabi Ibrahim AS dengan kedua tangan terikat, siap untuk dilemparkan. Tinggal menunggu instruksi Namrud.
Adakah kiranya momen lebih genting yang dialami seorang hamba melebihi detik-detik yang dirasakan Nabi Ibrahim AS ini? Dalam keadaan sangat terdesak, beliau tak melontarkan perkataan apapun. Dari bibirnya hanya terucap: Hasbiyallâhu wa ni’mal wakîl. Kalimat yang menyiratkan kepasrahan total, tanpa sedikitpun rasa memelas dalam hati.
Apakah yang menyebabkan Nabi Ibrahim AS bersikap demikian? Beliau tahu apa yang dihadapi adalah konsekuensi dari totalitasnya membela Allah SWT, mendakwah agama dan menegakkan panji tauhid. Ia percaya bahwa yang gemar membantu agama Allah SWT pasti dibalas dengan pertolongan yang jauh lebih besar, bahkan tak terduga.
Nabi Ibrahim AS yakin bahwa Allah SWT pasti membalas cinta hamba yang mengorbankan jiwa dan raga untuk agama. Nabi Ibrahim AS percaya sepenuhnya rahmat Allah SWT pasti turun melindungi dirinya. Kepercayaan yang kuat itu kemudian menjelma sebagai kekuatan dalam balutan kata-kata: Hasbiyallâhu wa ni’mal-wakîl.
Demikianlah mestinya hamba menanamkan rasa percaya akan kasih sayang Allah SWT. Jika perasaan ini telah terpatri dalam sanubari, niscaya bibirnya tak akan meminta dan hanya syughûl menengadahkan tangan kepada-Nya. Pesan Ibnu Athaillah, permintaan kepada Allah SWT mungkin saja ada lewat kecurigaan, tuduhan atau ketidak-percayaan kepada-Nya.
***
Kedua, “Mencari Allah SWT berarti tidak menganggap-Nya ada (tidak hadir)”. Dalam frasa ini, Ibnu Athaillah sedang mengajak pembaca bermain logika. Jika Anda sedang mencari sesuatu, berarti Anda mencari materi yang tidak ada, tak terlihat, atau tidak sedang di samping Anda. Jika barang yang dicari berada di depan mata, maka pencariannya akan sia-sia. Tak berguna. Lalu pertanyaannya: kapankah saat yang memungkinkan Allah SWT gaib dari jangkauan makhluk, hingga makhluk merasa harus mencari-Nya?
Jika Anda berada pada kondisi sangat butuh kepada Allah SWT hingga merasa perlu untuk mencari-Nya, ketahuilah bahwa Allah SWT tidak jauh. Dia tidak pernah terhalang dari apa yang Anda anggap sebagai “hijab” antara relasi Tuhan dan hamba. Bisa jadi yang terhijab justru Anda sendiri. Ya, Anda terhalang oleh ketidak-tahuan, bahwa sejatinya Allah SWT lebih dekat dari urat leher.
Anda terhalang oleh sikap pongah yang bersarang dalam diri. Kepongahan itu semakin menjadi-jadi, dengan dibiarkannya fanatik buta mengambil kendali diri Anda. Ketika Anda tidak mampu melihat benda yang ada di depan mata, hal itu tidak meniscayakan ketidak-adaan benda tersebut. Bisa jadi malah berasal dari titik lemah indera penglihatan Anda, bukan karena terhijab atau terhalangi. Logika ini begitu kuat menggiring opini, sekaligus mematahkan fanatisme buta seorang hamba.
***
Ketiga, “mencari selain Allah SWT berarti tidak malu kepada-Nya”. Kata “selain Allah” di sini bisa menyasar benda apapun yang dianggap memiliki pengaruh. Bisa juga berupa kesenangan dunia, bahkan amal-amal akhirat yang pada praktiknya justru diproyeksikan untuk tujuan duniawi.
Contoh, ada seorang yang tiba-tiba rajin baca Surah al-Wâqi’ah, lantaran disebut dalam literatur klasik bahwa aktivitas tersebut memudahkan datangnya rezeki. Padahal sebelumnya ia tak pernah peduli dengan bacaan tersebut. Maka, sejatinya ia membaca namun tidak dengan niatan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Ia juga tidak memperhatikan pesan yang terkandung dalam Surah al-Wâqi’ah. Ia pun tidak larut dalam munajat dzikir bacaan tersebut. Ia hanya mengerti bahwa bacaannya adalah perantara untuk mendapat harta. Itu saja! Maka, sebagaimana diperjelas oleh Syekh Muhammad Said Ramadhan al-Buthi dalam syarh hikmah ini, ia dikategorikan orang yang minim budaya malu kepada sang Khaliq.
***
Keempat, “meminta kepada selain Allah SWT semata karena merasa makin jauh dari-Nya”. Anda tentu memiliki berjibun keinginan, hajat dan kebutuhan. Untuk mendapatkan semua itu, Anda harus meminta kepada Dzat Maha Esa, bukan kepada selain-Nya. Jika tidak, maka dimungkinkan hal itu lantaran Anda semakin jauh, atau merasa jauh dari Allah SWT.
Tentu jauh di sini bukan tentang jarak, tapi tentang kejahilan dan kealpaan (lupa) diri dari Allah SWT. Sebab, andai bukan karena bodoh atau lupa, pasti Anda tahu bahwa yang menyebabkan efek positif ataupun negatif diri hanyalah Allah SWT. Untuk bisa memahami frasa ini, sebelumnya hamba diharuskan mengerti dua poin ini: dimensi akidah dan dimensi amal.
Pada dimensi akidah menuntut untuk meyakini dengan sebenarbenarnya, bahwa tiada yang memberi manfaat, tak ada yang memberi bahaya, tak ada yang menggerakkan, tak ada yang membuat diam, selain Allah SWT Dzat Yang Maha Esa.
Dimensi amal menuntut memahami dengan seksama, bahwa ada interaksi yang terbangun dalam “sababmusabbab”, sehingga berpengaruh pada terjadinya sesuatu. Sepeti efek perut kenyang lewat makanan; api dengan efek membakar; pisau dan efek memotong. Wallâhu A’lam