SIMTHUTD DURAR adalah salah satu kitab maulid populer yang umum dibaca di Nusantara, selain Barzanji, Syaraful Anam,\Diba’i, Burdah dan Dhi`ya’ul Lami’. Kitab maulid Simthud Durar ditulis oleh seorang ulama kharismatik asal Hadramaut, Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi (w. 1915).
Habib Ali bin Muhammad al-Habsyi dilahirkan di desa Qosam (Hadramaut) tahun 1839 M. Ayah kandungnya adalah seorang alim dan ulama besar, yaitu Habib Muhammad bin Husein al-Habsyi lahir di Seiwun. Sedangkan ibunya adalah juga seorang alim dan pendakwah yang bernama Hababah Alawiyah binti Husein bin Ahmad al-Hadi al-Jufri lahir di Syibam.
Karena nama pengarang ini pula, banyak yang menyebut kitab maulid Simthud Durar ini dengan sebutan ‘Maulid al-Habsyi’. Habib Ali menulis kitab pada 1913 ketika berusia 68 tahun. Disebutkan bahwa Maulid ini dibacakan pertama kali di rumah beliau kemudian di rumah muridnya, Habib Umar bin Hamid. Sebelum itu, Habib Ali selalu membaca Maulid Al-Hafidz Ad-Diba’i (Maulid ad-Diba’i).
Pada masa hidupnya, Habib Ali selalu mengadakan perayaan maulid dengan membaca kitab ini satu pekan sekali di Masjid Riyadh di kota Seiwun, Hadramaut. Khusus pada Kamis terakhir bulan Rabiul Awal, perayaan maulid ini diadakan secara meriah dan diikuti oleh banyak jamaah. Masjid Riyadh sendiri didirikan oleh Habib Ali pada 1886 M.
Tentang kitab Maulidnya itu, Habib Ali pernah berkata, “Jika seseorang menjadikan kitab Maulidku ini sebagai salah satu wiridnya atau menghafalnya, maka rahasia (sir) al-Habib Rasulullah akan tampak pada dirinya. Aku yang mengarangnya dan mendiktekannya, namun setiap kali kitab ini dibacakan kepadaku, dibukakan bagiku pintu untuk berhubungan dengan Nabi Muhammad.”
TERSEBARNYA MAULID SIMTHUD DURAR KE INDONESIA
Bagaimana maulid Simthud Durar masuk ke Indonesia dan akhirnya bisa dikenal seantero negeri? Kitab maulid Simthud Durar dipopulerkan di Nusantara melalui dua jalur: yang pertama murid dan yang kedua keturunan Habib Ali. Untuk jalur murid, yang pertama kali membawa Simthud Durar ke Indonesia adalah Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi (w. 1917).
Awalnya Habib Muhammad mengadakan maulid di Jatiwangi, Cirebon sebelum memindahkannya ke Bogor. Karena beberapa hal, Habib Muhammad pindah ke Surabaya dan secara reguler mengadakan kajian maulid di kota ini sampai akhir hayatnya pada 1917 M. Setelah wafatnya Habib Muhammad, yang melanjutkan tradisi perayaan maulid Simthud Durar adalah Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi (w. 1968) yang masih murid Habib Ali Al Habsyi ketika di Hadramaut- atas izin keluarga Habib Muhammad.
Setelah mendapatkan izin dari keluarga Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi awalnya mengadakan maulid di kantor pusat Jamiyyah al-Khayr, Jakarta sebelum memindahkannya ke masjid yang beliau dirikan di daerah Kwitang, Jakarta Pusat.
Di Masjid Kwitang inilah, Habib Ali memulai majelis maulid pada 1918 dan berhasil mengundang banyak jamaah. Peringatan maulid Nabi di Kwitang dipenuhi sesak oleh para jamaah. Perkiraan 3.000 orang hadir dalam acara tersebut. Tidak hanya dari sekitar Jakarta Pusat, jamaah juga datang dari daerah Tanjung Priok, Jatinegara dan Tangerang. Karena populernya majelis ini, Habib Ali bin Abdurrahman al-Habsyi kemudian lebih dikenal dengan sebutan Habib Ali Kwitang.
| BACA JUGA : Kitab Maulid Ad-Diba’i
Selain jalur pertama, maulid Simthud Durar juga dipopulerkan melalui keturunan Habib Ali yaitu Habib Alwi bin Ali al-Habsyi (w. 1953). Habib Alwi adalah putra Habib Ali yang mengembara ke Nusantara setelah wafatnya sang ayah. Awalnya, Habib Alwi tinggal di Jakarta, sebelum pindah ke Semarang dan akhirnya menetap di Surakarta (Solo).
Pada 1934, Habib Alwi mendirikan masjid di daerah kecamatan Pasar Kliwon. Masjid tersebut diberi nama Riyadh merujuk pada nama masjid ayahnya di kota Seiwun. Karena dirinya adalah putra pengarang Simthud Durar, banyak orang menghormati dan ingin mendapatkan berkah Habib Alwi termasuk mengikuti kajian maulid yang beliau lakukan.
Habib Alwi meninggal pada 1953 di Palembang tetapi atas wasiatnya, jasad Habib Alwi dimakamkan di samping masjid Riyadh di Surakarta. Pasca wafatnya Habib Alwi, tradisi maulid Simthud Durar dilanjutkan oleh sang putra, Habib Anis bin Alwi al-Habsyi (w. 2006). Di tangan Habib Anis, perayaan maulid Nabi dengan kitab Simthud Durar semakin dikenal oleh umat Islam di Surakarta pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya.
Setiap bulan Rabiuts Tsani masjid Riyadh Surakarta mengadakan haul Habib Ali al-Habsyi. Haul ini bisa dikatakan salah satu haul terbesar di Indonesia. Karena besarnya acara ini pula, sejak 2014, Pemkot Surakarta memasukkannya dalam agenda resmi tahunan pemerintah dalam satu frame kebijakan ‘Solo Kota Shalawat’.