Berdasarkan penelusuran terhadap sumber-sumber primer sejarah Islam, ditemukan banyak versi berbeda mengenai keislaman Umar. Pendapat yang masyhur menyatakan beliau memeluk Islam pada tahun ke-5 dari kenabian, sesaat setelah keberangkatan para shahabat muhajirin menuju tanah Habasyah.

Cara keislamannya pun masih mengundang perdebatan di kalangan sejarawan. Tapi yang jelas, keislaman beliau karena dipengaruhi oleh bacaan al-Quran, sekalipun tidak semua sejarawan sepakat dengan versi yang kita sebutkan dalam artikel pada edisi yang lalu.

Seperti dijelaskan di edisi sebelumnya, keislaman Umar membawa sebuah kemuliaan yang cukup berharga bagi agama Islam. Namun demikian, bukan berarti deraan cobaan yang menimpa umat Islam lantas berakhir. Kehebatan Sayidina Hamzah dan Umar belum cukup untuk membendung nuansa permusuhan akibat kesan bahwa agama ini adalah agama baru yang mendobrak religiutas masyarakat Quraisy.

Namun setidaknya, ada perubahan bentuk permusuhan dari pihak Quraisy kepada Rasulullah dan para shahabat. Jika sebelumnya mereka menonjolkan bentuk intimidasi fisik, maka kini, bentuknya bergeser menjadi konspirasi politik dalam bentuk pengucilan dan boikot.

Atas kesepakatan para pembesar Quraisy, boikot dilakukan sejak tahun ke-7 dari kenabian hingga tiga tahun berikutnya, sampai tahun 10. Sasarannya adalah umat Islam dan dua klan bersaudara, yaitu Bani Hasyim dan Bani Muththalib. Anggota dua klan tersebut semuanya diboikot, termasuk yang belum memeluk Islam. Terkecuali Abu Lahab yang lebih memilih bergabung dengan koleganya sesama musyrikin Quraisy.

Poin utama pemboikotan adalah larangan menikahi perempuan dari dua klan Bani Hasyim dan Bani Muththalib, larangan menikahkan perempuan Quraisy dengan lelaki dari dua klan tersebut, ditambah larangan melakukan transaksi ekonomi. Nota kesepakatan yang ditulis oleh Manshur bin Ikrimah itu digantung di Kakbah.

Umat Islam mengalami puncak krisis selama menjalani masa pengucilan di Syiib Abi Thalib, sebuah lembah di kaki bukit Abi Qubais itu. Tak bisa dibayangkan, betapa susahnya mereka menjalani kehidupan selama tiga tahun itu, kecuali pada bulan-bulan haram, dimana mereka bisa mendapatkan makanan dengan membelinya dari kafilah-kafilah yang datang bertamu ke Makkah. Itu pun harus mereka beli dengan harga yang tidak masuk akal akibat hasutan dari musyrikin Quraisy.

Di luar 4 bulan haram, mereka hanya mengandalkan belas kasih dari beberapa orang yang bersimpati dengan nasib umat Islam, seperti Hakim bin Hizam, keponakan Sayidah Khadijah. Ketika stok makanan sudah tidak lagi tersisa, mereka terpaksan memakan dedaunan dan kulit binatang untuk bertahan hidup.

Pengucilan ini nyaris menguras habis harta dan aset yang dimiliki umat Islam. Sayidah Khadijah dan Abu Bakar harus rela kehilangan mayoritas hartanya akibat pengucilan ini. Abu Bakar konon memiliki 50.000 dirham sebelum masuk Islam. Tapi pada saat hijrah ke Madinah, hanya 4.000 dirham yang tersisa. Kemungkinan hartanya habis dibuat untuk menghidupi umat Islam selama masa pengucilan, selain dibuat untuk memerdekakan beberapa budak Muslim yang disiksa oleh tuannya seperti Bilal, dll.

Umar juga tak berpangku tangan menyikapi pengucilan ini. Beliau berjuang mendapatkan apa saja yang bisa dibuat untuk membantu umat Islam bertahan hidup. Tentu hanya itu yang dapat beliau lakukan. Beliau tidak mungkin menghentikan pengucilan ini seorang diri. Di hadapan para pembesar Quraisy yang saat itu kompak, sosok Umar belum memiliki nilai tawar politik yang cukup kuat.

Sejarah memang tak banyak merekam segala daya dan upaya yang dilakukan oleh para shahabat dalam rangka membantu umat Islam– khususnya klan Bani Hasyim dan Bani Muththalib–dalam menjalani masamasa pengucilan. Celah inilah yang dimanfaatkan oleh Syiah Rafidhah dengan menuding para shahabat secara keji, dengan menyebut mereka sebagai kelompok yang tidak setia kepada Rasulullah.

***

Pada akhirnya, pengucilan di Syiib Abi Thalib berakhir berkat pertolongan Allah melalui beberapa tokoh humanis Quraisy yang menentang konspirasi politik tersebut.

Usai pengucilan di Syiib Abi Thalib yang kelam itu, umat Islam kembali menjalani kehidupan seperti biasa. Begitu pula dengan Umar. Rangkaian peristiwa senantiasa ia ikuti bersama sang junjungan tercinta Rasulullah. Proses kebersamaan ini berlangsung secara terus menerus, menjadi semacam seleksi alam terhadap nilai kualitas keimanan yang tertanam dalam hati para shahabat. Dalam menjalani proses ini Umar menunjukkan kualitas dirinya di hadapan Rasulullah r. Kecintaannya kepada Allah, Rasul, dan Islam yang ia anut, semakin lama semakin kokoh. Maka tak heran jika dalam setiap kesempatan, Abu Bakar dan Umar lah yang selalu terpilih untuk mendampingi Rasulullah. Dan hal ini terus berlanjut hingga periode Madinah, bahkan sampai Baginda Rasul tutup usia pada tahun 11 Hijriyah.

Boikot di Syiib Abi Thalib dilanjutkan dengan momen-momen lain seperti Amul Hazan atau tahun kesedihan, tahun ketika dua orang yang paling dicinta oleh Baginda Rasul r wafat menghadap Yang Maha Kuasa. Disusul kemudian dengan Isra Mikraj yang menandai kewajiban shalat lima waktu, setelah itu Baiatul Aqabah di tahun ke-11 dan ke-12 dari kenabian.

Tahun berikutnya adalah tahun hijrah. Momen yang menandai kepindahan umat Islam dalam rangka menjaga iman dan agama mereka, menuju ke tanah Yatsrib demi menyongsong sebuah kejayaan yang telah digariskan oleh Tuhan Semesta Alam. Umar, sama seperti shahabat lainnya, turut pula hijrah mengikuti sang Rasul panutan, bahkan termasuk kelompok pertama yang sampai ke Madinah.

Dalam beberapa sumber disebutkan bahwa hanya Umar lah satu-satunya shahabat yang berani hijrah secara terang-terangan.

Pidatonya di hadapan musyrikin sangat melegenda hingga hari ini: “Barang siapa yang ingin ibunya kehilangan, serta ingin anaknya menjadi yatim dan istrinya menjanda, maka hadapi aku di balik lembah ini!”

Kisah hijrah secara terang-terangan ini sangatlah masyhur, meskipun ini tidak disebutkan oleh Ibnu Ishaq, Ibnu Hisyam, hingga Ibnu Katsir; serta terdapat 3 orang perawi yang tidak dikenal oleh pakar Jarh wat-Ta’dil.

Menurut beberapa kritikus kontemporer, seperti Dr. Akram Dhiya’ al-Umari dari Irak–yang tidak lain keturunan dari Umar, kisah di atas sangat lemah. Para sejarawan itu berpendapat bahwa Umar t hijrah secara sembunyi-sembunyi, sama seperti shahabat-shahabat lain y.

Kesimpulan ini diperkuat kisah yang dituturkan sendiri oleh Umar, seperti dicatat oleh Ibnu Ishaq dalam Sîrah Ibni Hisyâm dan Ibnu Saad dalam ath-Thabaqât al-Kubrâ.

“Saat hendak hijrah, aku, Iyasy bin Abi Rabiah, dan Hisyam bin al-‘Ash bin Wail sepakat berkumpul di pepohonan di dekat perkambungan Bani Ghifar (13 km dari Makkah). Barang siapa di antara kita bertiga yang besok pagi tidak hadir di tempat itu, berarti ia telah tertangkap, dan dua lainnya hendaknya berangkat ke Madinah. Esok harinya, aku bertemu Iyasy di lokasi yang kami sepakati, sedangkan Hisyam tertangkap.” Wallahu a’lam.

Moh. Yasir/sidogiri

Spread the love