لَا تَسْتَغْرِبْ وُقُوْعَ الْأَكْدَارِ مَادَامَتْ فِيْ هَذِهِ الدَّارِ فَإِنَّهَا مَا أَبْرَزَتْ إِلَّا مَا هُوَ مُسْتَحِقٌّ وَصْفَهَا وَوَاجِبٌ نَعْتَهَا

 “Jangan heran dengan adanya cobaan selama hidup di dunia, karena ia tidak memprlihatkan selain sesuatu yang berhak dan layak.”

HIKMAH ini menampilkan realita bahwa dari awal hingga sekarang, dunia adalah tempat Allah menguji hamba-hamba-Nya. Namun hal ini menyisakah tanya, mengapa? Mengapa di balik hari-hari bahagia selalu ada nestapa? Mengapa kenikmatan yang diberikan sehabisnya muncul cobaan? Jawabnya tentu ada hikmah di balik itu. dan hikmah itu yang kita gali melalui kalam hikmah Ibnu Athaillah kali ini.

Setidaknya hikmah di balik silih bergantinya nikmat-cobaan di dunia bermuara pada dua hal. Masing-masing dari keduanya akan dijelaskan secara gamblang. Pertama, Allah menciptakan dunia sebagai medan juang dan ujian, untuk memfilter bibit unggul dari hamba-hambanya. Kedua, dunia ini tak lebih sebagai batu loncatan untuk meraih tahap kehidupan berikutnya. selayaknya tempat singgah, tentu setelah itu mereka yang telah beranjak dari persinggahan dan berpindah ke akhirat akan mendapat balasan dari perbuatannya. Perbuatan baik akan dibalas kebaikan, perbuatan tidak baik juga mendapat balasan setimpal.

Dalam hakikat pertama, tujuan Allah menguji hamba dengan berbagai cobaan adalah menyegarkan kembali kesadaran bahwa dirinya adalah hamba, dan Allah sebagai raja. Bagaimana maksud kesadaran itu? Yakni memahami bahwa sebagaimana halnya Allah menciptakannya sebagai ‘abdun (hamba) dengan kehendak ilahi, di sisi lain Allah memberinya peluang untuk beramal secara ikhtiyâri. Dengan diciptakan sebagai hamba, manusia tidak bisa menolak sebab hal itu kehendak Allah. Kendati demikian Allah tidak membatasi ruang gerak hamba untuk beramal menurut ikhtiarnya. Nah, amal sesuai ikhtiar inilah bentuk lain dari taklif yang Allah bebankan.

Taklif tersebut sekaligus medan uji bagi seorang hamba. Sudahkah ia berikhtiar dengan baik dalam usaha menjalankan tugas sebagai khalifah Allah di muka bumi? Tentu selaiknya sebuah ujian, maka tidak lepas dari yang namanya rintangan, cobaan dan hal lain yang tidak diinginkan. Jika seseorang mengira bahwa hidup di dunia hanya berisi nikmat-nikmat tanpa cobaan, kebahagiaan tanpa kesedihan, maka dalam bentuk apa ia wujudkan ketaatan atas perintah Allah? Pantaskah ia mengaku telah beribadah (menghamba) dengan baik, sedang semua telah dibalas dengan bermacam-macam nikmat tiada henti?

Kemudian dalam hakikat kedua, perlu dibangun kesadaran bahwa kehidupan dunia ini hanya sebentar. Kehidupan dunia hanyalah tempat singgah dengan waktu yang amat terbatas. Kehidupan dunia tak lain adalah batu loncat untuk memasuki etape kehidupan berikutnya; akhirat. Sebuah kenyataan yang tak bisa dimungkiri adalah ada hikmah di balik dijadikannya dunia sebagai arena uji coba. Bahwa cobaan-cobaan yang datang bisa menjadi reminder atau sejenis alarm pengingat. Cobaan-cobaan itu mengingatkan bahwa setiap penderitaan, musibah, sakit dan ketidak nyamanan hanya sebentar. Jika pemahaman ‘dunia hanyalah tempat singgah’ terpatri dalam benak hamba, mereka tentu percaya bahwa cobaan-cobaan itu jauh lebih singkat. Coba kita bayangkan, seandainya kita hidup dengan penuh kenikmatan dan hampir tidak ada kerikil cobaan sama sekali, maka sampai tua kita akan betah hidup di dunia ini. Semakin hari semakin menikmati dan ingin berlama-lama di dalamnya. Dan ketika ajal menjemput yang ada hanyalah rasa terkejut. Tak siap mengahadapi malaikat maut.

***

Kemudian mari kita melihat perbedaan antara orang mukmin dan orang kafir tentang cara pandang mereka terhadap dunia. Orang mukmin memandang dunia dengan pandangan sebagaimana yang termaktub dalam kitab suci; dunia adalah rumah duka, tempat fitnah, markas huru-hara dan sebagainya. Dan sikap mereka atas musibah, cobaan serta fitnah yang menimpa cenderung sabar. Sebagaimana mereka menyikapi nikmat dengan rasa syukur. Mereka percaya pada al-Quran bahwa semua ini akan indah pada waktunya. Balasan Allah jauh lebih besar dari dahsyatnya musibah yang diberikan andai kita mau bersabar.

Sedangkan orang kafir atau kita sebut non-mukmin memiliki perspektif berbeda tentang dunia. Bagi mereka, hidup di dunia adalah satu-satunya kehidupan. Mereka tidak punya keyakinan ada kehidupan lain sebagai kelanjutan dari kehidupan sekarang. Oleh sebab itu, mereka berpikir keras bahwa selama di dunia mereka harus bahagia. Karena pikir mereka kalau tidak sekarang kapan lagi? Hidup di dunia dengan pola pikir bahwa setiap keinginan harus tercapai. Mereka tidak memiliki konsep sabar dan syukur. Ketika mereka gagal akibatnya adalah stress, lantaran tidak memilii sandaran hidup. Sebaliknya ketika mereka mendapatkan kenikmatan, mereka merayakan dengan penuh hura-hura. Demikianlah perbedaan perspektif dunia bagi mukmin dan non-mukmin.

BACA JUGA: ANTARA QADA’, QADAR DAN ALUR KEHIDUPAN

***

Hal yang tak kalah penting untuk diselaraskan adalah pemahaman bahwa kebahagiaan sama sekali tidak diukur dengan seberapa banyak kenikmatan yang diraih, sebagaimana kesengsaraan juga tidak bisa diukur dengan seberapa banyak musibah yan menimpa. Kaya-miskin dan sukses-gagal bukan rumus matematik yang harus dipakai guna mengukur kebahagiaan. Betapa banyak orang kaya, terkenal, pintar dan hebat justru kehidupannya tidak tentram. Hatinya kering. Jiwanya resah.

Di sisi lain kita melihat batapa banyak mereka yang tampak secara lahir tidak memiliki apa-apa. Jauh untuk disebut cukup. Tidak terkenal dan sangat bersahaja tapi justru hidupnya tentram dan hatinya marem. Mengapa bisa demikian? Karena kebahagiaan itu soal hati. Aspek luar hanya ilusi. Dan mukmin sejati memahami bahwa kebahagiaan hakiki adalah di saat mereka menjalani tugas sebagai hamba Tuhan yang mengabdikan diri. Dalam satu kesempatan al-maghfurlah Kiai Hasani bin nawawie dawuh: “Sebab tak delok dek al-Quran, awal-akhir. Ganok sing ngongkon enak dek dunyo.” (Saya melihat dalam al-Qur’an awal-akhir tidak saya temukan perintah untuk hidup enak di dunia). Wallahu a’lam

Spread the love