Sebuah peristiwa menarik mewarnai Aksi Damai II membela agama yang melibatkan lebih dari sejuta umat Islam pada 4/11 yang lalu. Mobil Satellite News Gathering (SNG) milik stasiun televisi swasta Metro TV, diusir paksa oleh elemen ormas Islam yang tengah berkumpul di Masjid Agung Medan di Jl Diponegoro.
“Kami ingatkan kepada Metro TV agar tidak main-main dalam aksi ini. Jangan kalian beritakan soal taman rusak. Kalian catat itu ya. Metro TV, sebaiknya kalian pergi saja,” ujar salah satu orator dalam aksi tersebut.
Soal “taman rusak” yang dimaksud oleh orator bernama Eka di atas merujuk kepada Aksi Damai I yang digelar 3 pekan sebelumnya (14/10). Saat itu Metro TV beserta stasiun televisi lain yang pro pemerintah sengaja membesar-besarkan kerusakan secuil taman yang dianggap dirusak oleh peserta aksi. Masalah ini diliput hingga puluhan kali dan Pemerintah DKI Jakarta diklaim mengalami kerugian sebanyak ratusan juta. Padahal, dari beberapa foto yang diambil dari kamera HP peserta aksi damai, terungkap bahwa taman tersebut diinjak-injak oleh beberapa oknum wartawan.
Sementara itu, Aksi Damai I yang melibatkan puluhan ribu orang di Jakarta dikesankan seolah-olah hanya aksi kecil. Sebagian media menyebut pesertanya hanya ratusan orang. Bahkan Metro TV melalui akun twitternya menyebut bahwa peserta aksi yang memadati Masjid Istiqlal itu hanya “puluhan orang, didominasi ibuibu dan anak-anak”. Aksi damai yang juga berlangsung di 30 kota lebih di seluruh Indonesia pun tidak mendapat perhatian.
Agen Islamofobia
Sudah jamak diketahui, Metro TV sering bias dalam menyampaikan berita. Umat Islam adalah pihak yang paling banyak dirugikan dengan berita dan liputan yang dimuat Metro TV maupun media yang satu atap seperti Media Indonesia. Sekalipun mediamedia mainstream yang lain juga kerap menyudutkan Islam, hal itu tidak mengubah image bahwa Metro TV adalah media yang paling tidak ramah kepada Islam.
Dengan semakin gencarnya kampanye anti-Islam dalam lingkup global, maka sangat pantas jika Metro TV disebut agen Islamofobia di Indonesia.
Sejak dulu, Metro TV sangat mudah memberi label teroris kepada ormas tertentu. Banyak korban operasi Densus 88 yang langsung disebut teroris sekalipun belum ada bukti kuat.
Pada tahun 2012 lalu, kegiatan ekstrakurikuler Rohani Islam (Rohis) di masjid-masjid dituduh sebagai sekolah rekrutmen teroris. Dalam sebuah acara dialog yang mengundang tokoh-tokoh yang dikenal anti-Islam, ada pernyataan seperti ini: “Kalo Anda ngeliat ada orang yang seneng-nya nongkrong dan kumpulkumpul di masjid, maka patut dicurigai sebagai anggota ISIS. Apalagi kalau pada diri orang tersebut melekat ciri khas Islam ekstrem, radikal, garis keras, fundamenal, puritan seperti jenggotan, celana cingkrang, kalau yang cewek jilbabnya lebar-lebar, cadaran, maka harus sangat lebih dicurigai banget…”
Pada Mei 2006, salah seorang presenter Metro TV, Sandriana Malakiano, berhenti dari Metro TV. Sandrina memilih keluar karena dilarang mengenakan jilbab pada saat siaran, meskipun ia sudah memperjuangkannya selama berbulanbulan dengan mengajak jajaran pimpinan level atas Metro TV untuk berdialog. Menurut pihak Metro TV, mereka hanya akan mengizinkan presenternya berjilbab di depan kamera pada bulan Ramadan dan hari-hari besar Islam.
***
Selain kerap menyudutkan umat Islam, Metro TV juga tidak netral dalam pemberitaan politik, terutama sejak Surya Paloh membentuk partai Nasional Demokrat (Nasdem). Dengan adanya Partai Nasdem, Metro TV lebih berperan sebagai corong untuk kepentingan partai. Sikap politiknya pun mengikuti kepentingan kelompok tertentu.
Kebobrokan Metro TV banyak diungkap oleh mantan produser maupun wartawan yang pernah bekerja di sana. Edi Wahyudi, mantan Senior News Producer Metro TV pernah berujar, “Banyak perintah yang oleh temen-temen disebut sebagai ‘Perintah Dewa’. Ini harus tayang, ini gak boleh tayang. Situ harus muncul, sini gak boleh muncul. Itu bisa dari pimpinan yang paling tinggi.”
Matheus Dwi Hartanto, mantan produser lainnya juga mengungkapkan bahwa berita yang akan tayang begitu mudah dibeli. Dari sekelas wartawan sampai produser sering menerima order untuk memuat berita tertentu sesuai kepentingan pemesan.
Moh. Yasir/sidogiri