7 DESEMBER 1941, secara mendadak Kekaisaran Jepang menyerang pangkalan Angkatan Laut Amerika Serikat di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam setelah serangan mematikan itu, pemerintah Hindia Belanda menyatakan perang melawan Jepang.
Setelah itu, Jepang bergerak menuju arah selatan. Sasaran pertama adalah Hongkong. Sempat mendapat perlawanan dari Inggris, namun tidak berlangsung lama. 25 Desember 1941, Hongkong resmi takluk.
Target selanjutnya adalah Malaysia, negara yang sangat vital bagi Inggris. Inggris mati-matian mempertahankan Malaysia, namun akhirnya lumpuh juga pada Februari 1942.
Serangan berikutnya ke wilayah Burma (Myanmar), kemudian Filipina. Di Filipina, Jenderal Masaharu Homma mendapatkan perlawanan sengit dari tentara AS di bawah komando Jenderal Douglas Mac Arthur. Dalam keadaan terdesak, Presiden Franklin D. Roosevelt memerintahkan Mac Arhur agar mundur.
Untuk mengantisipasi serangan Jepang yang mengancam wilayah Asia Tenggara, negara-negara sekutu membentuk komando gabungan bernama ABDACOM (American, British, Dutch, Australian Command). Komandan tertinggi dipegang Marsekal Sir Archibald Wavell (Inggris), komandan angkatan laut Laksamana Thomas C. Harth (AS), komandan angkatan darat Letnan Jenderal Hein Ter Pooten (Belanda), dan komandan angkatan udara Marsekal Richard E.C. Pierce (Australia).
Markas besar ABDACOM berada di Lembang, Jawa Barat, sedangkan markas angkatan lautnya berada di Surabaya. Untuk pertahanan laut, ABDACOM membagi daerah perairan Asia Tenggara atas tiga bagian: barat, timur, dan selatan. Wilayah barat menjadi tanggung jawab Inggris, mencakup wilayah Laut China Selatan, Samudera Hindia, dan Singapura. Wilayah timur menjadi tanggung jawab AS dan Australia, meliputi wilayah Makassar ke timur. Sedangkan Belanda bertanggung jawab atas area Laut Jawa.
ABDACOM memiliki banyak kelemahan: jumlah pasukannya kalah dibandingkan jumlah pasukan Jepang, dan mereka tidak pernah melakukan latihan militer bersama. Akibatnya, strategi perang maupun sistem komandonya tidak integral dan berbeda-beda.
Dalam sebuah pertempuran laut di Laur China Selatan, kapal Inggris Prince of Wales dan Repulse ditenggelamkan oleh 50 penyelam berani mati Jepang. Akibat dari kekalahan ini, ABDACOM berantakan dan Sir Achibald Wavell terpaksa meninggalkan Indonesia dan menyingkir ke India.
Membelit Nusantara
Tepat 75 tahun silam, Jepang merebut Nusantara dengan sangat cepat. Pasukan Hindia Belanda tak berdaya menghadapi serangan bertubi-tubi dari serdadu Negeri Matahari Terbit.
Pulau Tarakan (Kalimantan Utara) direbut kali pertama pada 11 Januari 1942, disusul Manado 17 Januari, Balikpapan 22 Januari, Pontianak 29 Januari, Samarinda 3 Februari, Banjarmasin 10 Februari, Palembang 14 Februari, dan Bali pada 26 Februari.
Dalam upaya merebut pulau Jawa, Jepang melancarkan “Operasi Gurita”. Gurita barat bergerak menuju Jawa dari Kalimantan Utara, sedangkan gurita timur bergerak dari Filipina menuju pulau Jawa melalui perairan Makassar.
Gurita barat tak mengalami hambatan berarti. Mereka mendarat di pulau Eraten (Indramayu), lalu menguasai Serang (Banten) pada 1 Maret. Adapun gurita timur masih harus berjibaku dalam pertempuran laut dekat Balikpapan, juga di Laut Jawa, tepatnya di perairan antara Bawean, Tuban, dan Laut Rembang. Pertempuran Laut Jawa berlangsung selama 7 jam pada tanggal 27 Februari.
Gurita barat menjadikan Bandung sebagai target utama. Dari Eraten, detasemen beranggotakan 5.000 serdadu di bawah komando Kolonel Toshinori Shoji terus bergerak menuju lapangan terbang Kalijati, Subang, yang hanya berjarak 40 km dari Bandung. Dalam sebuah pertempuran singkat, lapangan terbang Kalijati berhasil direbut Jepang. Selama tiga hari berturut-turut, tanggal 2 s.d 4 Maret, tentara Belanda mencoba merebut kembali lapangan Kalijati namun selalu gagal dan menelan banyak korban.
Tanggal 5 Maret, Batavia (Jakarta) diumumkan sebagai “Kota Terbuka”, yang berarti bahwa kota itu tidak akan dipertahankan oleh pasukan Belanda. Dari Batavia, tentara Jepang bergerak ke selatan dan menguasai Buitenzorg (Bogor).
Di hari yang sama, Jepang bergerak dari Kalijati menuju Bandung. Mula-mula markas pertahanan di Ciater mereke gempur. Dari Ciater, pasukan Belanda mundur ke Lembang sebagai pertahanan terakhir. Namun apa daya, Lembang akhirnya direbut pula oleh Jepang pada 7 Maret petang.
Operasi kilat detasemen Shoji membuat krisis kekuatan militer Belanda, dan itu berarti sebuah sinyal akan direbutnya Bandung dengan mudah. Pada 6 Desember, keluar perintah dari Letjen Ter Pooten dan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Tjarda van Starkenborgh agar pasukan Belanda tidak mengadakan pertempuran di Bandung, untuk menghindari korban dari penduduk sipil.
Pada 7 Maret, Belanda mencoba mengulur-ulur waktu. Ajakan untuk berunding yang ditawarkan oleh pihak Jepang coba ditolak oleh pihak Belanda. Akibatnya, Jepang memberikan ultimatum keras, bahwa bila pada pagi hari 8 Maret 1942 pukul 10:00 para petinggi Belanda belum berada di Kalijati untuk berunding, maka Bandung akan dibombardir sampai hancur. Sejumlah pesawat bomber disiagakan oleh pihak Jepang di Pangkalan Udara Kalijati.
Jepang menuntut yang menghadiri perundingan adalah panglima tentara Belanda, Letjen Ter Pooten, atau Gubernur Jenderal Van Starkenborgh sebagai pimpinan tertinggi di Hindia Belanda. Mereka juga menuntut agar wilayah yang diserahkan mencakup seluruh wilayah Hindia Belanda, tidak hanya pulau Jawa.
Pertemuan berlangsung di rumah dinas seorang perwira staf Sekolah Penerbang Hindia Belanda yang kini menjadi Museum Rumah Sejarah, Komplek Garuda E-25 Lanud Suryadarma, Kalijati, Subang. Letnan Jenderal Hitoshi Imamura datang dari Batavia menghadiri perundingan tersebut.
Drama 10 Menit
Perundingan penyerahan kekuasaan dari pemerintah kolonial Hindia Belanda kepada Kekaisaran Jepang berlangsung amat singkat. 10 menit!
Dalam transkip perundingan Kalijati terungkap, Jenderal Imamura bertanya dengan nada mengintimidasi, “Apakah Gubernur Jenderal dan Panglima Tentara mempunyai wewenang untuk mengadakan perundingan ini?”
“Saya tidak memiliki wewenang bicara sebagai Panglima Tentara,” jawab Van Starkenborgh singkat.
Moh. Yasir/sidogiri