“Seseorang yang mempunyai wajah yang rupawan, suara yang lantang, karakter yang kuat serta ahlak yang baik.” ~Adz-Dzahabi, Sejarawan Muslim
Beliau bernama lengkap Abul-Hasan Imaduddin Syaikhu asy-Syafi’iyah Ali bin Muhammad bin Ali ath-Thabari atau yang sering dipanggil dengan sebutan Ilkiya al-Harrasi (bisa juga dibaca Alkiya atau Lkiya, merupakan gelar berbahasa Persia yang berarti tokoh atau orang yang berpengaruh dari Harras)
Beliau dilahirkan pada tanggal 5 Dzul Qadah 450 hijriyah atau 24 Desember 1058 di Amol, Thabaristan, Iran. Beliau menghabiskan masa kecil di tempat kelahirannya dan belajar dasardasar agama di sana, sampai pada usia 18 beliau pergi mencari ilmu ke Nisapur, dan belajar di Madrasah Sarhang pada Imam Haramain dan menjadi asisten beliau mengajar di sana. Setelah Imam Haramain wafat, beliau melanjutkan studinya ke Baihaq (Sekarang adalah Sabzevar, Razavi Khorasan, Iran) pada Syaikh Zaid bin Shaleh al-Amuli dan beliau juga mengajar disana.
Setelah menyelesaikan masa belajarnya di Baihaq beliau pergi ke Baghdad dan menetap di sana dan menjadi penasehat Abul-Muzhaffar Barkiyaruq bin Malik Syah, Sultan Dinasti Saljuk, sebelum akhirnya beliau diangkat menjadi Qadhi di Baghdad.
Seorang Pelajar yang Ulet
Beliau mempunyai kelebihan dalam hal karakter dan fisik, hal ini digambarkan oleh Imam adz- Dzahabi “Dia mempunyai wajah yang rupawan, suara yang lantang, karakter yang kuat serta ahlak yang baik”. Namun, yang paling nampak dari karakternya adalah Kegigihannya dalam mencari ilmu, beliau bercerita tentang pangalamannya ketika masih menjadi pelajar, “Di Madrasah Sarhang ada ruangan dengan 70 tangga, aku menghafalkan pelajaranku di ruangan tersebut dan mengulanginya lagi di setiap turun satu tangga, begitu pula aku mengulangi lagi pelajaranku di setiap naik satu tangga”.
Beliau juga merupakan salah satu dari tiga murid yang sering dibanggakan oleh al-Imam Haramain disamping Imam al-Ghazali dan Imam al-Khawafi. Imam Haramain sering memuji mereka bertiga secara khusus. Dalam sebuah momen Imam Haramain mengatakan: “Ketelitian ada pada al-Khawafi, kelancaran ada pada al-Ghazali, dan kejelasan ada pada Ilkiya”, dalam momen lain beliau berkata: “Al-Ghazali adalah laut yang menenggelamkan, Ilkiya adalah singa yang tangkas dan al-Khawafi adalah api yang membakar”
Menjadi Rektor di Madrasah Nizhamiyah
Pasca Imam al-Ghazali mengundurkan diri dari Rektor Madrasah Nizhamiyah dikarenakan naik haji dan melakukan Uzlah pada tahun 488 H. kursi rektor Madrasah Nidzamiyah untuk sementara waktu dipegang oleh saudara al-Ghazali yaitu Syekh Ahmad bin Muhammad at-Thusi, tak lami kemudian beliau digantikan oleh Syekh al-Husain bin Muhammad ath-Thabari selama tiga tahun dan setelah itu digantikan oleh Ilkiya sampai beliau wafat. Hal ini yang menyebabkan pembesar-pembesar ulama zaman itu, khususnya dari kalangan mazhab Syafii Asy’ari banyak yang menjadi murid beliau.
Difitnah Menjadi Anggota Sekte Bathiniyah
Pada tanggal 6 Muharam tahun 495 H, dua tahun setelah beliau diangkat jadi Rektor Madrasah Nizhamiyah, beliau difitnah oleh sebagian kalangan sebagai penggerak sekte Bathiniyah dari Syi’ah Ismailiyah, kemudian ditangkap atas perintah Sultan Muhammad bin Malik Syah dari Dinasti Saljuk dan beliau nyaris dieksekusi, namun Khalifah Abbasiyah ketika itu, al- Mustazhhir billah dan beberapa ulama Baghdad membela beliau sehingga beliau dilepaskan kembali. Kejadian ini disebabkan karena keserupaan nama (gelar) dengan pemimpin Bathiniyah saat itu yaitu Ilkiya Hasan bin Shabbah al-Marwazi penguasa daerah Alamut.
Wafat
Beliau wafat pada hari kamis di waktu ashar di permulaan bulan Muharam tahun 504 Hijriyah dan dimakamkan di pemakaman Bab Abzar, Kota Baghdad, di dekat persemayaman salah satu pembesar ulama Baghdad,Syekh Abi Bakar asy-Syirazi.
Karangan-Karangan Beliau
Beliau merupakan ulama produktif dan mempunyai banyak karangan di antaranya: 1) Ahkâmul-Qurân, tentang tafsir ahkam yang mengkolaborasikan antara Tafsîr bil-Ma’tsûr dan Tafsîr bir- Ra’yi. Kitab ini merupakan karangan beliau yang paling terkenal. 2) At-Ta’lîq fî Ushûlil-Fiqh. 3) Talwîhu Madârikil- Ahkâm. 4) Syifaul-Mustarsyidîn fî Mabâhitsil-Mujtahidîn menjelaskan tentang khilafiyah para mujtahid. Kitab ini salah satu karya terbaik beliau. Imam as-Subuki berkata, ”(Kitab ini) merupakan salah satu kitab terbaik yang menjelaskan tentang khilafiyah”. 5) Lawâmi’ ad-Dalail fi Zawayal- Masâil. 6) Naqdu Mufradâtil-Imami Ahmad, kitab yang menjelaskan tentang pendapat Imam Ahmad yang tidak sejalan dengan pendapat Imam Mazhab yang tiga.
Guru-Guru dan Murid-Murid Beliau
Beliau berguru pada pembesarpembesar Madzhab Syafii, di antaranya: 1) Al-Imam Haramain Abul Ma’ali ‘Abdul Malik bin ‘Abdillah bin Yusuf bin Muhammad bin ‘Abdillah bin Hayyuwiyah Al-Juwaini An-Naisaburi. 2) Abul-Fadl, Zaid bin Shaleh al-Amuli. 3) Abu Ali al-Hasan Muhammad ash-Shaffar.
Beliau juga mempunyai banyak murid yang terkenal, di antaranya: 1) Abu Fatah al-Baghdadi Ahmad bin Ali bin Muhammad al-Wakil atau yang sering dikenal dengan sebutan Ibnu Burhan. 2) Said bin Muhammad bin Ahmad Abu Mansur ar-Razi. 3) Abdullah bin Muhammad bin Ghalib Abu Muhammad al-Jayli. 4) Said al- Khair bin Muhammad al-Anshari. 4) Muhammad bin Tumart ash-Shanhaji. 5) Abu Thahir Ahmad bin Muhammad bin Ibrahim as-Salfi. 6) Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Abdul Qadir bin Hisyam al-Khatib ath-Thusi. 7) Abu al-Abbas Khadr bin Nash bin Aqil al-Irbili. 8) Umar bin Muhammad bin Ahmad bin Ikrimah al-Bazri. 9) Abdul Wahid bin al-Hasan bin Muhammad bin Ishaq bin Ibrahim al-Irbily. 10) Abu Ali Muhammad bin Abdullah bin Muhammad al-Bisthami yang terkenal dengan Julukan Imamu Baghdad.
Komentar Ulama tentang Beliau
Banyak sekali komentar ulama tentang beliau, di antaranya Imam al- Asnawi mengatakan, ”Beliau adalah seorang Imam yang punya pandangan yang luas”, Imam Ibnu Katsir berkata, ”Salah satu pembesar mazhab Syafii, tuan dari para pakar fikih.” Imam as- Subuki juga memberi komentar, ”Salah satu ulama terpandang, pemimpin para Imam dalam bidang Fikih, Ushul dan debat ilmiyah.” Ibnu Khlalikan berkomentar, ”Punya wajah yang rupawan, suara yang lantang, serta bahasa yang fasih.”
Baca juga: Syekh ihsan Jampes