Lihatlah! Bagaimana narasi awal yang dibangun oleh Rasulullah. Seorang lelaki yang dulunya hanya dikenal sebagai penggembala. Dari wilayah terpencil nan gersang Makkah. Gelap dengan kebodohan aksara dan baca. Ummi dan jahili.
“Saat kekaisaran Persia sudah hancur, maka tidak akan ada lagi kekaisaran Persia. Dan ketika kekaisaran Romawi sudah hancur, maka tidak akan ada lagi kekaisaran Romawi. Demi Dzat yang diriku ada di dalam kekuasaan-Nya, sungguh kalian akan memasuki istana-istana keduanya di jalan Allah.” (Al-Hadis)
Tetiba saja, Ibnu Abdillah Rasulullah tampil menawan di antara jerat kuat tangan besi adidaya Romawi dan Persia. Beliau lantang menyerukan kehancuran dua negara raksasa itu.
Gelak tawa penghinaan terdengar bersautan dari tokoh-tokoh ‘seberang’. Narasi ini dinilai sebatas obsesi Muhammad. Tidak mungkin terwujud dalam kenyataan. Tapi begitulah narasi seorang pemimpin. Sesuatu yang awalnya dianggap mustahil, namun pada akhirnya diyakini bisa berhasil.
Membangun narasi memang mudah. Tapi mewujudkannya tidak sekadar obsesi, butuh ilmu dan kerja keras. Dua hal yang disadari betul oleh beliau sebagai pemimpin teragung umat Islam.
Baca Juga: Calon Pemimpin Yang Sesungguhnya
Untuk membangun peradaban ilmu, Rasulullah memulai dengan kebijakan tidak lazim. Membebaskan tawanan perang Badar, dengan tebusan ‘baca-tulis’. Sangat tidak lazim.
Pun, saat Dinasti Tang masyhur dengan kemajuannya di negeri China sana. Mampu membangun relasi perdagangan dengan Jazirah Arab melalui jalur sutera. Hadir dengan ‘Birokrasi Rasional’ jauh sebelum dikenalkan oleh Max Weber. Maka Rasulullah tahu, Dinasti Tang menyimpan berbagai disiplin keilmuan. Narasi unik kembali beliau munculkan. Uthlubul-Ilma walau bish-Shin. Gapailah ilmu meski sampai ke negeri China. Pesan singkat Rasulullah yang sangat lekat di setiap sanubari Muslim.
Setelah ilmu, lalu kerja keras. Menembus batas. Begitulah Rasulullah turun tangan sendiri dalam membangun batu bata peradaban Masjid Nabawi. Beliau menyadari betul umat Islam perlu pusat untuk memerintah. Markaz untuk mengatur strategi. Serta tempat peribadatan untuk melatih dimensi spiritual. Maka berdirilah Masjid Nabawi dengan pondasi takwa. Batu-batu itu ikut beliau emban di antara sahabat Muhajirin-Anshar.
Tidak kalah keras ketika umat Islam menggali khandak. Parit besar yang membentengi kota Madinah. Tangan mulia Rasulullah juga menggenggam erat beban hantam menghancurkan bebatuan bebal yang menghadang.
Baca Juga: Cerita Negeri Kita
Di kala perang orang Arab masih ‘konvensional’, Persia sudah memiliki sistem pertahanan kokoh nan canggih, yaitu dengan parit. Ilmu militer ini dikenalkan oleh sahabat Salman al-Farisi. Maka upaya ekstra dikerahkan oleh Rasulullah dan para sahabat. Berupaya mengaplikasikannya.
Ilmu dan kerja keras… Dan pada akhirnya, narasi yang awalnya terkesan hanya obsesi, berputar terbalik 180 derajat. Persia dan Romawi betul-betul runtuh. Berhasil ditaklukkan umat Islam. Ribuan, bahkan jutaan manusia setelahnya, menjadi saksi keberhasilan narasi Rasulullah mencapai nyata. Bukan lagi sebatas obsesi.
Begitulah pemimpin membangun narasi ‘kehidupan’. Sepenggal kalimat, yang semangatnya menyala sepanjang hayat. Bahkan sepanjang sejarah.
Andai Rasulullah tahu kondisi umatnya saat ini. Banyak tapi lemah. Bersaudara tapi pecah. Entah narasi apa yang akan beliau serukan untuk membangkitkan tidur sore kita.
Tapi entah, semua narasi telah disabdakan Rasulullah. Tinggal usaha kita untuk kembali menelaahnya. Lalu mengemas ulang dengan bahasa lugas. Jadilah! Maka akan terjadi.
Mudah tenan membangun narasi. Tapi tidak dengan mewujudkannya. Di sanalah perbedaan seorang pemimpin. Atau sebatas pemimpi.
M. Muhsin Bahri/sidogiri