UNTUK para pemimpin bangsa, pertama-tama kami ingin bertanya: Apakah mewajibkan seorang muslimah mematuhi ajaran agamanya termasuk melanggar Kebhinnekaan? Jika Panjenengan menjawab “Iya”, berarti bangsa ini sedang berada di jalur kiri, jalur yang selalu memasung Sila Pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa.
Untuk bangsa seperti Indonesia, barangkali kita memang tidak bisa memaksakan seorang wanita non-Muslim memakai pakaian Muslimah. Kita mesti memaklumi hal itu demi kepentingan besar: menjaga persatuan bangsa. Akan tetapi, jika misalnya kita dilarang mewajibkan siswi Muslimah memakai pakaian Muslimah, maka tentu saja hal itu merupakan kemunduran dalam hal kehidupan beragama, meskipun sebagian kepala dan leher) adalah ajaran yang disepakati oleh para ulama yang muktabar dalam Mazhab Empat. Silakan cari di dalam kitab apapun, apakah ada ulama di dalam Mazhab Empat yang mengatakan bahwa kepala dan leher wanita bukan termasuk aurat di hadapan lelaki dewasa yang bukan suami dan mahramnya? Kalaupun ada, itu hanyalah pendapat pemikir-pemikir kontemporer yang menyimpang dari kesepakatan para ulama yang muktabar. Mereka biasanya hanya melakukan pembelokan-pembelokan penafsiran. Mengambil satu kesimpulan remang-remang yang mereka reka-reka sendiri, seraya meninggalkan puluhan dalil yang sangat sharîh.
Yang paling aneh adalah tokoh-tokoh Liberal yang ngaku-ngaku NU. Sekali lagi ngaku-ngaku, bukan benar-benar NU. Mereka mengambil pendapat tokoh kontemporer, seperti Muhammad Said al-Asymawi, tokoh Liberal Mesir yang meninggal tahun 2013 lalu. Dia memang menyatakan bahwa hijab itu hanyalah ajaran yang digembar-gemborkan oleh para politisi Muslim untuk membangun identitas. Ia juga menyatakan bahwa hadis yang mewajibkan menutup kepala hanyalah hadis ahâd yang tidak qath’i, bukan hadis mutawatir. Ia juga menyatakan ayat-ayat Quran yang memerintahkan memakai khimâr hanyalah ajaran kondisional (waqtiy) untuk membedakan antara wanita Muslimah dan bukan Muslimah, antara wanita merdeka dan wanita budak, dan untuk menghindari godaan kaum lelaki yang menganggap bahwa wanita yang tidak berjilbab sebagai sahaya atau pelacur-sebagaimana tradisi pada saat turunnya ayat.
Akhirnya, Said al-Asymawi membuat kesimpulan bahwa ketika alasan-alasan itu sudah tidak ada, maka memakai jilbab sudah tidak wajib -seperti zaman sekarang yang sudah tidak ada sahaya, dan jilbab sudah bukan menjadi pembeda antara pelacur dan bukan, juga sudah tidak ada laki-laki yang gemar menggoda wanita yang tidak berjilbab.
| BACA JUGA : MUFTI HADRAMAUT SERTA MAESTRO SASTRA YANG TIADA DUANYA
Kesimpulan al-Asymawi tersebut kemudian dicomot oleh sebagian pemikir Liberal di Indonesia. Selanjutnya, mereka menganggap masalah jilbab sebagai masalah khilafiyah di antara para ulama, seraya meneriakkan jargon Anas bin Malik: ikhtilâful-ulamâ’ rahmah. Saya yakin, Shahabat Anas bin Malik di alam barzakh sangat geram jika tahu bahwa pernyataannya dipakai untuk menjustifikasi hal-hal semacam ini. “Allahu Akbar, kalimatu-haqqin yurâdu bihâ bâthil,” dawuh Sayidina Ali.
Sudahlah untuk menjawab hal itu dengan dalil al-Quran, Hadis, Tafsir, nalar Ushul Fikih, Kaidah Fikih dan Fikih, mungkin membutuhkan ratusan halaman. Maka, untuk lebih sederhananya begini saja: Apakah jutaan ulama sepanjang sejarah yang menyimpulkan wajibnya jilbab itu tidak tahu sababun-nuzûl dan sababul-wurûd? Apakah kita mentolo menyatakan bahwa mengenai wajibnya jilbab terjadi perbedaan pendapat antara Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafii, Imam Ahmad melawan Said al-Asymawi atau Prof. Dr. Quraish Shihab?
Selanjutnya, kalau hanya gara-gara status hadisnya tidak mutawatir kemudian Anda menolak kesimpulan hukumnya, maka Ushul Fikih mana yang menyatakan bahwa hukum syariat harus berlandaskan hadis mutawatir!?Ushul Fikih mana yang memperbolehkan umat Islam keluar dari ijmak!? Kalau Anda menyatakan bahwa wajibnya menutup kepala dan leher bukan ijmak, melainkan hanya masalah khilafiyah, silakan dipelajari kembali di Ushul Fikih mengenai apa yang dimaksud ijmak. Apakah pendapat-pendapat nyeleneh, apalagi dari masa yang jauh beda, bisa membatalkan status ijmak yang sudah dicapai pada masa salaf!?
Tidak sedikit orang yang gemar memakai Ushul Fikih atau Kaidah Fikih sebelum dia menjadi ahli Fikih. Orang seperti ini biasanya terjatuh ke dalam pandangan yang offside. Dia menjadi pengamat, tapi belum pernah menjadi pemain. Dia hanya tahu hal-hal umum, tapi tidak menjalani hal-hal detail. Fikih itu sudah ada sebelum Ushul Fikih dan Kaidah Fikih. Ushul dan Kaidah dibuat untuk menyimpulkan bagaimana ‘aksi’ para mujtahid. Makanya, di pesantren-pesantren, Ushul dan Kaidah baru diajarkan setelah para santri mumpuni di bidang Fikih. Agar tidak offside.
Yang lebih lucu lagi, ada saja orang yang tidak mewajibkan jilbab karena berdalil kepada putrinya Gus Fulan, istrinya Buya Fulan, bu nyainya Kiai Fulan, ibunya Tuan Guru Fulan dan seterusnya. Di mana ada jenis dalil seperti itu? Kalau logika seperti itu dipakai, lama-lama nanti orang akan menghalalkan homoseksual dengan dalih istrinya Nabi Luth mendukung perbuatan keji tersebut. Atau malah memperbolehkan kekafiran dengan dalih istri dan anaknya Nabi Nuh ada yang kafir, pamannya Rasulullah juga ada yang kafir. Mengerikan sekali!
Untuk yang terakhir, begini saja. Tidak ada yang meragukan, bahwa Nahdlatul Ulama memiliki peran yang
sangat besar bagi stabilitas negara ini—terutama dalam hal mengharmonikan kehidupan beragama, kehidupan berbangsa, dan kehidupan bernegara. Perlu diingat dengan baik-baik, bahwa NU bisa bertahan kokoh di negeri ini karena dibangun di atas landasan yang kokoh pula, yaitu manhaj Ahlusunah wal
Jamaah. Mazhab Empat, dalam Fikih!
| BACA JUGA : ISLAM TETAP AKAN MENJADI RUJUKAN
Menyimpang dari Mazhab Empat sama halnya dengan meruntuhkan pondasi paling dasar dari NU. Meruntuhkan sendi-sendi NU akan sangat berbahaya bagi negeri ini di kemudian hari. Orang yang menyayangi NU dan menyayangi bangsa ini tentu saja harus menyadari itu. Janganlah hanya karena kepentingan sesaat untuk mendapatkan popularitas, perhatian penguasa, perhatian orang-orang luar,
lalu Anda justru berusaha meruntuhkan pondasi rumah besar kita itu. Sangat berbahaya untuk anak cucu bangsa ini di kemudian hari. Jika pondasi Mazhab Empat ini jebol, tali kuat NU akan musnah. Kita tidak akan solid lagi, lalu semuanya tinggal puing-puingnya saja.
Marilah kembali kepada hati nurani dan spiritualitas kita. Nalar itu bisa dibelok-belokkan, tergantung kepintaran orangnya. Lidah juga bisa disilat-silatkan, tergantung kelihaian pemiliknya. Jika Anda lihai sedangkan lawan Anda lugu, maka Anda akan menang sekalipun Anda salah. Marilah kembali kepada hati nurani dan tanggung jawab kita di akhirat kelak atas semua pemikiran dan ucapan kita yang terlontar, apalagi ucapan dan pemikiran yang mempengaruhi banyak orang.