Dalam pertempuran Antioch tahun 613, Romawi Timur di bawah pimpinan Heraklius dikalahkan oleh Persia di bawah Jenderal Shahrbaraz atas perintah Khosrow II. Kejadian ini membuat umat Islam bersedih karena kekalahan Romawi Timur, sementara orang-orang musyrik Makkah bersukacita dengan kemenangan Persia. Namun, beberapa tahun kemudian, pada tahun 625 M, Heraklius secara mengejutkan berhasil mengusir pasukan Persia dari Asia Kecil, bahkan berhasil menembus wilayah kedaulatan Persia dan menghancurkan angkatan bersenjata negara itu dalam pertempuran di Niniwe.
Al-Quran mengabadikan momen tersebut dalam beberapa ayat surah ar-Rum, yaitu ayat 2 hingga ayat 6. Abul-Hassan an-Nadawi menyimpulkan bahwa ayat-ayat tersebut diturunkan pada tahun 616 M, sementara kemenangan Heraklius atas Persia terjadi pada 625 M.
Poin yang ingin penulis garis bawahi di sini adalah bagaimana Al-Quran mengonfirmasi dan mengafirmasi kesedihan para sahabat atas kekalahan Romawi, yang kemudian kesedihan itu terobati setelah Allah menyampaikan berita gembira akan kemenangan Romawi dalam waktu yang tidak terlalu lama.
Dukungan umat Islam terhadap Romawi Timur pada waktu itu didasarkan pada kesamaan Tuhan yang mereka sembah, yaitu Allah, meskipun ada perbedaan dalam aspek akidah lainnya. Ini sejalan dengan kegembiraan orang-orang musyrik dengan kemenangan Persia karena kesamaan sesembahan, yaitu menyembah selain Allah.
Dalam konteks dukungan umat Islam terhadap Palestina hari ini, kita sebagai umat Islam tidak memerlukan motif lagi, karena telah ditemukan kesamaan dalam semua aspek mendasar dalam agama Islam. Bagaimana mungkin kita tidak mendukung saudara seagama di Palestina, padahal Al-Quran mengonfirmasi dukungan umat Islam terhadap Romawi Timur yang Kristen?
Karena itu, kita sangat menyayangkan sikap sebagian orang yang justru menyalahkan faksi di Palestina (Hamas) yang memberikan reaksi terhadap penjajahan Israel yang berlangsung lebih dari seratus tahun, sejak lepasnya Palestina dari kendali Kekhalifahan Turki Utsmani, dan telah melakukan tindakan-tindakan biadab di luar batas-batas kemanusiaan. Sikap seperti itu, selain tidak mencerminkan dukungan terhadap sesama Muslim sebagaimana seharusnya, masih diperparah dengan kritik terhadap pihak yang terjajah. Ini ibaratnya seperti mengkritik pejuang Indonesia yang melawan penjajah Belanda yang menjajah Indonesia selama tiga abad lebih. Sungguh sebuah anomali yang ironis.
Pada saat sebagian masyarakat Barat yang non-Muslim rela turun ke jalan, menyuarakan hati nurani mereka dengan memberikan dukungan kepada Palestina sekaligus mengutuk keras Israel, justru di tengah-tengah mayoritas umat Islam kita dapati sebagian orang yang tidak hanya cuek, tetapi juga bersikap hipokrit dan sangat kritis terhadap pejuang Palestina.