Imam al-Iraqi menyebutkan, sebagaimana dikutip dalam Hâsyiyatul-Jamal ‘alal-Manhaj, bahwa tidak ada praktik sihir yang mampu melampaui kemampuan master sihir bangsa Koptik Mesir—pada masa setelah Fir’aun dan tentaranya tenggelam. Praktik sihir paling menggetarkan yang pernah dilakukan oleh para master sihir bangsa Koptik adalah mereka meletakkan sihir di barânî (sejenis bejana) dan menggambar sketsa tentara-tentara dari berbagai penjuru dunia. Tentara manapun yang menjadi target, para master sihir Koptik cukup mengeksekusi gambar sketsa di barânî tersebut tanpa harus melakukan kontak fisik dengan target. Eksekusi pada gambar sketsa seperti mencongkel mata dan memotong anggota tubuh, persis terjadi pada tentara yang menjadi target. Syahdan, para tentara di berbagai penjuru dunia merasa gentar dengan kemampuan sihir tersebut. Selama sekitar 600 tahun master sihir bangsa Koptik mempraktikkan kemampuan gelap tersebut (Lihat, Hâsyiyatul-Jamal‘alal-Manhaj, juz v/111).
Di Nusantara, praktik magis yang cukup sering menjadi buah bibir dan tidak jarang menimbulkan kegemparan luar biasa di tengah-tengah masyarakat adalah santet atau guna-guna— terlepas dari validitas praktik santet sebagai sebuah isu—semisal tragedi Pembantaian Banyuwangi pada tahun 1998 yang memakan banyak korban jiwa. Dalam pemahaman masyarakat umum, santet adalah upaya yang dilakukan suatu pihak untuk mencelakai pihak lain dari jarak jauh dengan menggunakan ilmu hitam. Santet dilakukan menggunakan berbagai macam media antara lain rambut, foto, boneka, dupa, rupa-rupa kembang, dan lain-lain. Seseorang yang terkena santet akan berakibat cacat atau meninggal dunia. Motif terjadinya santet sering kali dipicu oleh dendam atau sakit hati pihak tertentu kepada pihak lain (Wikipedia).
Secara eksistensial, sihir bisa dibagi menjadi dua kategori. Pertama, sihir yang memiliki pengaruh konkret semisal praktik master sihir bangsa Koptik yang bisa mencederai anggota tubuh, atau santet yang menimbulkan rasa sakit bahkan pula kematian, begitu pula ajaran sihir malaikat Harut dan Marut yang bisa memisahkan pasangan suami istri yang termaktub dalam al-Quran surah al-Baqarah ayat 102:
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّه
“Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah.”
Selain itu, ada pula golongan yang menyebutkan bahwa kekuatan sihir yang kuat juga bisa merubah wujud suatu benda, seperti mengubah manusia menjadi himar. Namun pernyataan ini dibantah dengan keras dan dianggap terlalu mengada-ada (Lihat, Hâsyiatul-Jamal ‘alal-Manhaj, juz v/111).
Praktir sihir jenis pertama ini kerap melahirkan polemik ilmiah antar pengkaji dalam konteks hakikat empiris dan implikasinya dalam hukum yurisprudensi Islam (lebih lanjut akan dibahas dalam tulisan edisi selanjutnya). Kedua, sihir khayali. Yakni amalan-amalan sihir yang dapat merubah wujud zahir suatu objek yang hanya bersifat mengelabui pandangan mata. Semisal praktik sihir master sihir Fir’aun ketika adu kesaktian dengan Nabi Musa yang disebutkan dalam al-Quran berikut:
قَالَ بَلْ أَلْقُوا فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِنْ سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَى
“Musa berkata, “Silakan kamu sekalian melemparkan” (Maka mereka melemparkannya). Maka tiba-tiba tali-tali dan tongkat-tongkat mereka terbayang kepada Musa seakan-akan merayap cepat karena pengaruh sihir.”
قَالَ أَلْقُوا فَلَمَّا أَلْقَوْا سَحَرُوا أَعْيُنَ النَّاسِ وَاسْتَرْهَبُوهُمْ وَجَاءُوا بِسِحْرٍ عَظِيمٍ
“Musa menjawab: “Lemparkanlah (lebih dulu)!” Maka tatkala mereka melemparkan, mereka menyulap mata orang-orang dan membuat orang-orang itu takut, dan mereka mendatangkan sihir yang besar (menakjubkan).”
Dalam Tafsîrul-Qurânil-Azhîm, Imam Ibnu Katsir menyebutkan bahwa master sihir Fir’aun mampu membangkitkan khayalan dan mengelabui mata pihak lain ketika melihat objek yang sudah ditanamkan kekuatan magis di dalamnya. Seperti ketika adu tanding dengan Nabi Musa yang termaktub dalam ayat di atas, master sihir Fir’aun mengelabui pandangan seolah benda yang dilempar telah berubah wujud menjadi makhluk hidup secara hakikat, padahal sejatinya benda tersebut tidak berubah menjadi apapun, namun hanya ditanami sihir khayali hingga seolah berubah menjadi makhluk hidup (Lihat, Tafsîrul-Qurânil-Azhîm, III/456).
Secara material, praktik sihir cenderung terstruktur dari unsur yang bertentangan dengan syariat dan ajaran Nabi. Melalui kacamata empiris, 99,99% sihir menjadi entitas antagonis dan mewakili sisi gelap manusia; menjadi antitesis mukjizat atau karamah yang tak lain merupakan energi positif yang dianugerahkan Allah kepada hamba-Nya yang shalih. Dalam banyak referensi, mayoritas ulama menyebutkan pembeda antara sihir dan karamah yang tak lain keduanya sama-sama merupakan energi supranatural: jika bersumber dari seorang yang konsisten memegang prinsip syariat, taat pada perintah dan menjauhi larangan Tuhan, maka energi tersebut adalah karamah; jika bersumber dari seorang yang kerap melanggar aturan syariat, tidak mematuhi perintah dan menabrak larangan Tuhan, maka energi supranatural yang muncul termasuk kategori sihir. Imam al-Haramain menyatakan bahwa sihir tidak akan tampak kecuali dari tangan-tangan orang fasik sebagaimana karamah tidak akan terpancar kecuali dari tangan seorang wali. (Lihat, al-Mîzânul-Kubrâ, II/151; Bughyatul-Mustarsyidîn, hal. 299).
Namun demikian, ada pula pihak yang menyampaikan (Lihat, Majmû’atur-Rasâil ibni ‘Âbidîn, hal. 33-34) bahwa sihir tidak selamanya terhimpun dari unsur gelap yang bertentangan dengan syariat, ada pula sihir yang terhimpun dari unsur yang tidak menyalahi syariat, baik diri sisi ucapan, perbuatan, atau keyakinan. Kalangan ini menyitir sebuah riwayat Imam Muslim:
عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ الْأَشْجَعِيِّ، قَالَ: كُنَّا نَرْقِي فِي الْجَاهِلِيَّةِ فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللهِ كَيْفَ تَرَى فِي ذَلِكَ فَقَالَ: «اعْرِضُوا عَلَيَّ رُقَاكُمْ، لَا بَأْسَ بِالرُّقَى مَا لَمْ يَكُنْ فِيهِ شِرْكٌ»
Diriwayatkan dari ‘Auf bin Malik al-Asyja’i dia berkata; “Kami biasa melakukan mantera pada masa jahiliyah. Lalu kami bertanya kepada Rasulullah; ‘Ya Rasulullah! Bagaimana pendapat Anda tentang mantera? ‘Jawab beliau: ‘Peragakanlah manteramu itu di hadapanku. Mantera itu tidak ada salahnya selama tidak mengandung syirik.’
Bahkan ada sebagian kalangan yang menyebutkan adanya sihir yang menyisipkan zikir atau ayat-ayat suci (al-Quran) dalam praktiknya. Hal ini bersandingan dengan tujuan pembelajaran dan praktik sihir yang tidak selalu bertolak dari hal buruk, semisal sihir ‘putih’ untuk menolak sihir ‘hitam’ atau sihir sebagai sarana penyembuhan. Namun pendapat ini bertentangan dengan mayoritas ulama yang menyatakan bahwa sihir adalah buruk secara dzâtiah dan para pelakunya adalah seorang yang tersesat. Wallâhu A’lam.
M Romzi Khalik/sidogiri
Baca juga: Solusi Melawan Sumpah Iblis