Beberapa edisi sebelumnya telah dijelaskan sikap Ahlusunah wal Jamaah terhadap shahabat Rasulullah, mulai dari wajibnya mencintai, larangan menghina dan mencela, menetapkan bahwa para shahabat adil dan sebagainya. Pada edisi kali ini, penulis ingin menjelaskan bagaimana sikap Ahlusunah ketika seorang shahabat berbeda pendapat, terlibat pertikaian dan perseteruan. Bagaimana seharusnya Ahlusunah menyikapi hal-hal tersebut?
bagaimana seharusnya Ahlusunah menyikapi hal-hal tersebut? Para ulama Ahlusunah melarang seseorang untuk mencampuri pertikaian dan perseteruan besar yang berkecamuk di kalangan para shahabat. Terlebih, hingga mengatakan bahwa shahabat yang menentang terhadap keputusan yang telah ditetapkan dianggap sebagai bughat, seperti perang Shiffin, perselisihan antara Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan Sayidina Mu’awiyah bin Abi Sufyan, atau perang Jamal, perseteruan antara kelompok Sayidina Ali bin Abi Thalib dengan kelompok Sayidah Aisyah yang menginginkan keadilan atas terbunuhnya khalifah Utsman bin Affan.
Pada dasarnya, apa yang terjadi antara Sayidina Ali, az-Zubair dan ‘Aisyah adalah bersumber dari takwil dan ijtihad. Sayidina Ali adalah pemimpin, sedangkan mereka semua termasuk ahli ijtihad. Rasulullah telah menjamin mereka masuk surga dan mendapat syahadah (mati syahid). Hal itu menunjukkan bahwa ijtihad mereka benar. Demikian pula yang terjadi antara Sayidina Ali dan Mu’awiyah juga bersumber dari takwil dan ijtihad. Semua shahabat adalah imam dan orang-orang terpercaya, bukanlah orang yang dicurigai agamanya. (Imam Asy’ari, al-Ibânah)
Oleh karena itu, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah
إِذَا َاجْتَهَدَ الْحَاكِمُ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا اجْتَهَدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
“Jika seorang hakim berijtihad lalu benar, maka ia berhak mendapat dua pahala, namun jika ia berijtihad lalu salah, maka ia mendapat satu pahala.” (HR. Imam Bukhari)
Komentar Para Ulama
Ibnu Katsir dalam al-Bidâyah wan-Nihâyah (IX/192) berkata, “Kelompok-kelompok tersebut sama-sama menyuarakan kebenaran, yaitu dua kelompok yang terlibat dalam peperangan Jamal dan Shiffin. Karena, kala itu dakwah keduanya sama, yakni sama-sama menyeru kepada Islam.
Mereka hanya berselisih pendapat tentang masalah kekuasaan dan dalam menetapkan mashlahat bagi umat dan segenap rakyat. Akan tetapi, lebih utama tidak terlibat dalam peperangan itu dari pada melibatkan diri ke dalamnya. Itulah mazhab jumhur shahabat.
Ibnu Baththah al-Ukbari juga berkata, “Kita harus menahan diri dari pertikaian yang terjadi di antara shahabat Rasulullah. Sebab, mereka telah melalui berbagai peristiwa bersama nabi dan telah mendahului yang lain dalam hal keutamaan. Allah telah mengampuni mereka dan memerintahkan agar memintakan ampunan untuk mereka, dan mendekatkan diri kepada-Nya dengan mencintai mereka. Semua itu Allah wajibkan melalui lisan Rasul-Nya. Allah Maha Tahu apa yang bakal terjadi, bahwasanya mereka akan saling berperang. Mereka memperoleh keutamaan dari pada yang lainnya, karena segala kesalahan dan kesengajaan mereka telah dimaafkan. Semua pertikaian yang terjadi di antara mereka telah diampuni.”
Ibnu Qudamah al-Maqdisi dalam kitab Lum‘atul I’tiqad berkata,“Termasuk Sunah Nabi adalah menahan diri dari menyebut kejelekan-kejelekan para shahabat dan pertikaian di antara mereka, meyakini keutamaan mereka dan mengenal kesenioran mereka.”
Dalam Thabaqâtul-Hanâbilah (I/344), diceritakan Imam Ahmad bin Hanbal menulis surat kepada Musaddad bin Musarhad yang isinya, “Menahan diri dari memperbincangkan kejelekan shahabat. Bicarakanlah keutamaan mereka dan tahanlah diri dari membicarakan pertikaian di antara mereka. Janganlah berkonsultasi dengan seorangpun dari ahli bidah dalam masalah agama, dan janganlah menyertakannya dalam perjalananmu.”
Akidah Ahlusunnah wal Jamaah menjauhkan diri dari mengorek-ngorek kesalahan para shahabat. Mereka adalah kaum yang telah mempersembahkan amal shaleh dan berjihad membela Islam. Bahkan, mereka telah menghabiskan waktunya, mengorbankan harta dan tenaganya dalam membela Islam. Sedangkan kita, apa yang telah kita persembahkan untuk Islam sehingga kita merasa lebih hebat dibanding para shahabat sehingga mau menghakimi mereka?
Mengenai pertikaian yang terjadi di kalangan umat Islam, dalam al-Quran Allah berfirman:
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا
“Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. Al-Hujurât [49]: 9)
Dalam ayat lain, Allah juga berfirman;
لَقَدْ تَابَ اللَّهُ عَلَى النَّبِيِّ وَالْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ فِي سَاعَةِ الْعُسْرَةِ مِنْ بَعْدِ مَا كَادَ يَزِيغُ قُلُوبُ فَرِيقٍ مِنْهُمْ ثُمَّ تَابَ عَلَيْهِمْ ۚ إِنَّهُ بِهِمْ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka.” (QS. At-Taubah [09]: 117)
Kedua ayat di atas setidaknya telah mewakili untuk menegaskan bagaimana seharusnya sikap seorang Muslim di saat saudara seimannya bertikai. Pada ayat pertama Allah memerintahkan untuk mendamaikan dan melerai kedua kelompok tersebut, sedangkan pada ayat kedua Allah menegaskan bahwa Dia telah menerima taubat para shahabat, Muhajirin dan Anshar yang telah berjuang bersama nabi dalam memperjuangkan agama Islam.
Dengan artian, pertama, saat terjadi perdebatan dan perselisihan di antara shahabat, seorang Muslim bukan malah membiarkan, apalagi tambah mengadu antar keduanya. Kedua, menyerahkan segala persoalan yang bergejolak di kalangan shahabat kepada Allah, bukan mencari kesalahan antar keduanya, atau mendiskreditkan kelompok yang dianggapnya menentang, sebab Allah telah mengampuni semua kesalahan dan menjanjikan surga bagi mereka semua.
Ahmad Rizqon/sidogiri
Baca juga: Sunah Nabi Tak Sekadar Berpahala, Ini Penjelasan Habib Lutfi
Baca juga: Etika Makan Nabi dan Shahabat