Bahwa umat Islam di Palestina dan Rohingnya merupakan komunitas yang paling tertindas di dunia saat ini, hal itu sudah merupakan konsensus semua orang. Tidak hanya kaum Muslimin yang beranggapan demikian, tapi juga komunitas-komunitas lain dari kalangan non-Muslim.
Bahwa orang Yahudi dan orang Buddha berlaku bengis kepada kaum Muslimin hal itu tentu saja karena mereka memang musuh-musuh kita yang tidak berprikemanusiaan. Ibaratnya, mereka adalah iblis yang pekerjaannya memang menjerumuskan umat manusia.
Oleh karena itu, tentu saja, bukanlah tindakan yang tepat jika kita hanya menunggu dan merajut harapan-harapan kosong agar mereka berhenti melakukan semua tindak keji dengan kesadaran sendiri. Itu tidak mungkin! Iblis akan tetap menjerumuskan manusia sekeras apapun kita mengutuknya, jika kita tidak melakukan langkah-langkah nyata untuk menolak tipu dayanya. Yahudi akan terus membunuh orang-orang Palestina jika kita tidak melakukan langkah-langkah berani untuk menghentikannya. Myanmar akan terus membantai kaum Muslimin Rohingya jika kita tidak melakukan langkah-langkah yang nyata.
Jangan pernah berharap kepada orang lain, seperti PBB atau negara-negara non-Muslim, jika kita sendiri hanya bisa mengecam. Mulailah dari diri kita sendiri! Jika kita saja tidak peduli dan tidak mau melakukan apa-apa, maka apalagi orang lain. Oleh karena itu, mengenai Palestina dan Rohingya sudah tidak lagi dibutuhkan kata-kata.
Apa yang terus menerus terjadi di Palestina dan Rohingya khususnya, menunjukkan betapa lemahnya diplomasi negara-negara Muslim di dunia. Terdapat hampir 50 negara di dunia yang berpenduduk mayoritas Muslim dan pemerintahannya dipegang oleh para pemimpin Muslim. Bayangkan jika mereka bersatu melakukan aksi diplomatik yang paling maksimal (bahkan ekstrem) untuk menekan Israel dan Myanmar, tentu kekejaman terhadap Palestina dan Rohingya tidak akan separah yang terjadi seperti saat ini.
Tentu saja kita menyadari bahwa persoalannya tidak sesederhana itu. Akan tetapi, tidak adanya reaksi diplomatik maksimal (hingga ke pengusiran duta besar dan pemutusan kerjasama bilateral) dari negara-negara Muslim, setidaknya menunjukkan dua hal. Pertama, minimnya kepedulian yang diikuti dengan aksi nyata dari para pemimpin Muslim. Hal ini disebabkan oleh hilangnya ruh bersaudara dari hati para pemimpin negara Islam terhadap sesama Muslim.
Kecaman dengan kata-kata, tanpa adanya aksi diplomatik yang maksimal, bukanlah sebuah pilihan sikap yang memadai untuk sebuah otoritas setingkat negara. Negara seharusnya memiliki banyak opsi untuk mengambil sikap yang melampaui sekadar kata-kata. Kalau hanya sekadar kata-kata, maka tidak perlu negara, si Mukidi pun juga bisa!
Kedua, takut dengan risiko. Kita semua tahu, tidak ada perjuangan yang tidak berisiko. Yang membedakan antara pemberani dan pengecut adalah kesiapan dia dalam memikul risiko, bukan kemampuan dia untuk selamat dari risiko. Maka, letak masalah yang sesungguhnya adalah mengenai mana yang lebih menyesakkan bagi para pemimpin negara Islam antara penderitaan Palestina-Rohingya yang sudah sangat jelas dan nyata, dibandingkan dengan risiko ekonomi dan politik yang mungkin harus ditanggung oleh negara-negara Islam jika misalnya mereka mengambil tindakan dalam bentuk tekanan diplomatik yang maksimal bahkan ekstrem!?
Ketakutan terhadap risiko-risiko tersebut lebih disebabkan karena tipisnya ‘satu rasa’ dalam diri umat Islam, wa bil khusus para pemimpin mereka. ‘Satu rasa’ itu menjadi sangat tipis karena terkikis oleh arus kepentingan pragmatis para elite politik, baik kepentingan politik, popularitas, maupun kepentingan ekonomi. Para elite politik memiliki kebiasaan menuhankan kepentingan politik di atas segala-galanya. Dia berani mengorbankan banyak hal demi posisi politiknya di satu sisi; dan di sisi lain, dia sulit sekali mengorbankan posisi politiknya untuk kepentingan agamanya sekalipun.
Mari Kita Mulai dari Diri Sendiri
Apa yang bisa kita perbuat sebagai rakyat kecil? Perbuatlah apa yang kita bisa. Jika kita sendiri tidak berbuat apa-apa, mana mungkin mendorong orang lain untuk berbuat sesuatu. Ada beberapa langkah instan yang bisa kita lakukan. Di antaranya:
Pertama, menggelar kegiatan-kegiatan doa, istighatsah, dan qunut Nazilah untuk tragedi-tragedi tersebut.
Kedua, melakukan gerakan-gerakan massif dan gerakan lobi secara intens untuk menekan pemerintah agar melakukan reaksi maksimal terkait dengan krisis-krisis tersebut, baik dalam bentuk reaksi diplomatik maupun dalam bentuk bantuan langsung kepada kaum Muslimin yang menjadi korban.
Ketiga, berpartisipasi dalam gerakan-gerakan pengumpulan dana bantuan untuk mereka melalui lembaga sosial yang bonafide.
Keempat, intens menyampaikan kecaman terhadap berbagai kekejaman tersebut sebagai bentuk penggalangan solidaritas dan opini publik.
Itulah hal yang paling mungkin kita lakukan dalam jangka pendek. Sedangkan langkah paling strategis untuk jangka panjangnya adalah memaksimalkan partisipasi politik umat Islam agar kontrol atas pemerintahan dipegang oleh orang-orang yang memiliki ghirah tinggi dalam membela dan memperjuangkan kepentingan Islam.
Untuk mencapai hal ini, yang paling dibutuhkan adalah ash-shahwah al-islâmiyah, kesadaran umat Islam terhadap kepentingan Islam itu sendiri, baik dalam bidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial, maupun budaya. Sedangkan untuk menumbuhkan
kesadaran tersebut, maka hal pertama yang paling dibutuhkan adalah pengetahuan yang benar tentang ajaran Islam, yakni wawasan keagamaan yang tidak hanya menumbuhkan kesalehan pribadi seseorang, tapi juga menumbuhkan kesadaran dia untuk perjuangan keislaman.
Intinya, segala musibah dan keterpurukan yang menimpa umat Islam saat ini akibat kelalaian mereka sendiri terhadap ajaran Islam. Kelalaian tersebut setidaknya diakibatkan oleh dua hal utama, yaitu: (1) kebodohan mereka akan ajaran Islam, sehingga tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang batil; (2) kegilaan mereka terhadap kepentingan duniawi, baik dalam bentuk kekayaan materi, kedudukan, popularitas, dan kesenangan-kesenangan duniawi yang lain. Nalarnya, orang yang tidak bangga dengan agamanya dan orang yang hatinya dipenuhi oleh kesenangan duniawi, sudah pasti dia tidak memiliki kepedulian terhadap agamanya.
Rasulullah Saw bersabda: يُوشِكُ أَنْ تَدَاعَى عَلَيْكُمُ الأُمَمُ مِنْ كُلِّ أُفُقٍ كَمَا تَدَاعَى الأَكَلَةُ إِلَى قَصْعَتِهَا . قِيلَ يَا رَسُولَ اللّٰهِ : فَمِنْ قِلَّةٍ يَوْمَئِذٍ ؟ قَالَ لاَ ، وَلكِنَّكُمْ غُثَاءٌ كَغُثَاءِ السَّيْلِ يُجْعَلُ الْوَهْنُ في قُلُوبِكُمْ وَيُنْزَعُ الرُّعْبُ مِنْ قُلُوبِ عَدُوِّكُمْ لِحُبِّكُمُ الدُّنْيَا وَكَرَاهِيَتِكُمُ المَوْتَ “Sudah hampir tiba masanya, semua bangsa dari segala penjuru dunia akan saling mengajak (untuk menghabisi) kalian sebagaimana para pemakan saling mengajak menuju nampan makanan mereka.“ Sahabat bertanya, “Apakah karena (umat Islam) berjumlah sedikit?” Beliau menjawab, “Tidak, tetapi kalian adalah buih seperti buih air bah. Wahn (jiwa yang lemah) diletakkan di hati kalian, sedangkan rasa takut dicabut dari hati musuh-musuh kalian, karena kalian terlalu senang terhadap kenikmatan duniawi, dan sangat benci terhadap kematian (di jalan yang benar).” (HR Abu Dawud dari Tsauban). Rasulullah Saw juga bersabda: إِذَا عَظَّمَتْ أُمَّتِيْ الدِّيْنَارَ وَالدِّرْهَمَ نُزِعَ مِنْهَا هَيْبَةُ الإِسْلَامِ وَإِذَا تَرَكُوْا الأَمْرَ بِالمَعْرُوْفِ حُرِّمُوْا بَرَكَةَ الوَحْيِ “Bila umatku telah mendewa-dewakan dinar dan dirham (uang), maka dicabutlah dari mereka kewibawaan Islam. Dan bila mereka meninggalkan amar makruf, maka terhalanglah dari mereka berkah wahyu (hatinya tidak bisa mengambil manfaat dari ajaran dan peringatan al-Qur’an).” (HR Ibnu Abi ad-Dun’ya dan al-Hakim at-Tirmidzi dalam Nawâdir al-Ushûl
Ahmad Dairobi/Sidogiri