Mula-mula perlu dipahami, bahwa tidak ada orang yang otodidak murni: tidak pernah belajar, meniru, atau mengambil pengetahuan dari orang lain, sama sekali. Semurni-murninya penemuan, tetaplah merupakan kelanjutan dan pengembangan dari penemuan-penemuan sebelumnya. Seorisinil apapun sebuah gagasan tetaplah merupakan kesimpulan dari berbagai gagasan yang pernah ada sebelumnya, baik melalui nalar sintesis maupun nalar dialektika.
Oleh karena itu tidak ada larangan bagi seseorang untuk belajar sendiri, tanpa guru. Dia boleh mengembangkan penemuan-penemuan sebelumnya melalui proses berpikir dan penelitian. Ilmu pengetahuan bisa berkembang karena generasi penerus berani mengembangkan apa yang telah dibangun oleh generasi terdahulu, tidak sekadar terpaku, mengikuti dan mengambilnya secara mentah-mentah. Mereka memikirkan sesuatu yang tidak terpikirkan oleh para pendahulunya. Karena itulah ilmu pengetahuan terus berkembang, termasuk ilmu pengetahuan agama.
Namun demikian, tentu terdapat perbedaan yang sangat mendasar antara ilmu agama dan ilmu-ilmu yang lain, terutama ilmu sains dan teknologi. Yang terbaik dalam sains adalah yang paling mutakhir, karena telah melalui proses penyempurnaan yang lebih panjang, lebih lengkap dan lebih canggih. Sedangkan yang terbaik dalam ilmu agama adalah yang paling awal karena lebih asli dan terhindar dari berbagai penyimpangan. Hal itu karena inti dari agama adalah mengikuti Nabi Muhammad. Wa mâ ad-dîn illâl-ittibâ’.
Syekh Ibrahim al-Laqqani menyatakan di dalam Jauharatut-Tauhîd :
فَكُلُّ خَيْرٍ فِي اتِّبَاعِ مَنْ سَلَفَ…وَكُلُّ شَرٍّ فِي ابْتِدَاعِ مَنْ خَلَفَ
“Segala kebaikan di dalam mengikuti generasi yang terdahulu. Segala keburukan di dalam pembaruan generasi masa kini.”
Inovasi dan penemuan baru di dalam sains adalah bentuk kemajuan dan pengembangan yang berguna. Sedangkan inovasi dan penemuan baru dalam paham keagamaan adalah bentuk kemunduran dan penyimpangan yang berbahaya. Paham-paham baru seringkali merupakan pemalsuan dan pelanggaran serius terhadap ajaran Nabi, kecuali jika penemuan baru itu hanyalah menyangkut hal-hal teknis yang tidak mengusik esensi ajaran.
Karena itulah mata rantai transmisi keilmuan (sanad) memiliki urgensi tersendiri dalam khasanah ilmu pengetahuan agama—terutama sebagai bukti mengenai keaslian sebuah ajaran. Hal yang sama juga berlaku untuk informasi-informasi sejarah, karena keduanya sama-sama menjunjung tinggi nilai orisinilitas.
|BACA JUGA: BERAGAMA ITU MUDAH
Ta’lîmul-Muta’llim, salah satu kitab yang paling berpengaruh bagi karakteristik pendidikan pesantren, menjadikan pemilihan guru dan pemilihan ilmu sebagai salah satu prinsip utama dalam etika mencari ilmu. Pemuka generasi Tabiin, Imam Ibnu Sirin al-Bashri menyatakan:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِينٌ، فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِينَكُمْ
Ilmu ini adalah ajaran agama kita. Maka, lihatlah dengan cermat dari siapa kalian mengambil ajaran agama kalian.
Nilai esensial dari ilmu agama bukanlah terletak pada ketinggian ilmu dan kehebatan skill, melainkan pada keteladanan dan keyakinan. Kalau parameternya sekadar ilmu, maka Iblis termasuk makhluk yang paling luas ilmunya. Kalau parameternya sekadar kemampuan, maka Dajjal termasuk makhluk yang paling hebat kemampuannya.
Ilmu agama dipelajari untuk dua tujuan. Yang pertama adalah untuk memantapkan keyakinan terhadap akidah yang benar. Yang kedua adalah untuk membangun perilaku yang baik dan mulia.
Dua tujuan tersebut tidak bisa dicapai hanya dengan mengandalkan luasnya pengetahuan. Akan tetapi harus ditanamkan melalui keteladanan yang mantap. Karena itulah, siapa yang menjadi guru dan sumber ilmu, merupakan faktor sangat penting dalam hal ini. Sebab, sebuah ajaran dan ajakan akan menjadi sangat hambar jika disampaikan oleh orang yang keyakinan dan perilakunya tidak memberikan bukti bagi ucapannya.
Karena itulah, dalam mempelajari ilmu agama itu harus ada gurunya, harus ada pembimbingnya, tidak bisa hanya dengan mengandalkan nalarnya sendiri. Dan, tentunya guru tersebut bukanlah sembarang guru. Haruslah orang yang bisa menjadi teladan dan inspirasi, agar ilmu tersebut berbuah menjadi iman dan amal.
Dalam ujaran tasawuf yang sangat masyhur dinyatakan:
مَنْ لَا شَيْخَ لَهُ فَشَيْخُهُ الشَّيْطَانُ
“Orang yang tidak memiliki guru, maka gurunya adalah setan.”
Jika nalar manusia dibiarkan berkembang sendiri dalam mencari hakikat ketuhanan, pedoman spiritualitas dan tuntunan etika, tanpa dibimbing oleh orang-orang yang sudah terbukti, maka jurang kesesatan sedang menganga di hadapannya. Sejernih-jernihnya pikiran dan nalar, masih sulit sekali melepaskan diri dari pengaruh nafsu dan tipu daya Iblis yang takkan pernah berhenti melempar jala dan memasang jebakan.
Bimbingan, keteladanan inspirasi dari guru adalah ‘segalanya’ bagi seseorang dalam membentuk keteguhan dan ketangguhan spiritual. Barangkali karena itulah murid-murid Rasulullah disebut dengan istilah shahabat (teman), tidak disebut dengan istilah muta’allim (pelajar). Hal itu, karena mereka tidak hanya ‘mendengar’ ajaran agama di majelis taklim, tapi benar-benar ‘menyaksikan’ ajaran agama di dalam majelis kehidupan beliau sehari-hari, layaknya teman kepada teman. Dengan demikian, perilaku dan penghayatan agama itu menjadi suatu yang nyata, bukan sekadar wacana.
Pada kisah para ulama di masa lampau—terutama di kalangan sufi, kata shahiba (menemani syekh) seringkali digunakan sebagai istilah untuk menceritakan masa belajar kepada seorang guru. Sehingga, para murid dari seorang ulama terkemuka seringkali disebut sebagai ashâb (teman-teman). Penggunaan istilah “teman” ini menyiratkan bahwa seorang santri di masa lampau seringkali menyertai gurunya, untuk menimba ilmu dan keteladanan dari segenap keseharian beliau. Bukan sekadar ngaji ilmu, tapi juga ngaji perilaku.