Perkembangan yang dicapai oleh umat manusia dalam menghadapi problematika hidup sudah bervarian dan serba praktis. Untuk sekadar melakukan perjalanan dengan jarak tempuh ratusan mil sudah tidak sesulit dulu, bahkan bisa ditempuh dengan beberapa menit saja. Sesuatu yang dahulu kala misterius kini banyak yang menjadi biasa-biasa saja. Seakan di era globalisasi ini tidak ada sesuatu yang Imposible.
Hanya saja, tidak sedikit oknum yang menjadikan capaian tersebut sebagai bumerang mendekonstruksi teks-teks agama. Semisal, capaian teknologi yang semakin hari semakin menggila mencoba mengungkap sesuatu yang berada dalam ranah metafisika dan yang bersifat mistis dengan bantuan teknologi dan sains. Yang dalam teks agama dikatakan tidak bisa terjamah pengetahuan kini sudah bisa, sehingga vonis yang ada dalam teks-teks agama sudah dianggap tidak relevan lagi di zaman globalisasi seperti sekarang, pungkas mereka.
Di samping kecanggihan itu, masih ada juga orang yang menekuni kemampuan supranatural atau istilah kekinian populer dengan indra keenam. Pada biasanya, orang yang memiliki kemampuan seperti ini memiliki kelainan dalam sikap, cara hidup dan dalam memandang sebuah masalah. Latar belakang mereka pun tidak sama seperti pada umumnya orang kebanyakan.
Orang yang dipersepsikan memiliki indera keenam ini sering menerawang sebuah kejadian, baik yang sudah lampau ataupun yang akan terjadi. Indikasi yang mereka jadikan media pun sering kali irrasional dan terkesan mengada-ngada, mulai dari mengacu pada tanggal, hari, bulan dan yang lain yang notabenenya berseberangan dengan sains sama sekali.
Oleh karena itu, sangat penting di sini ditawarkan sebuah buku yang membeberkan batas-batas kesanggupan manusia dalam menerawang sesuatu yang gaib dan tak kasat mata. Buku itu di antaranya adalah karya Syekh Said Ramdhan al-Buthi yang bertajuk La ya’tihil-Bathil min Baini Yadaihi.
Konsentrasi buku ini secara umum adalah menjawab asumsi sementara orang yang beranggapan adanya ayat-ayat al-Quran yang dinilai tidak relevan dengan perkembangan zaman. Al-Quran yang sudah final validitas dan sakralitasnya masih dipertanyakan oleh mereka.
Adapun cara penyajian dalam buku ini cukup unik dan tentu apik. Yaitu, mendialogkan asumsi yang tengah beredar di kalangan orang yang mencoba mendekontruksi ayat-ayat al-Quran lalu disertai dengan beberapa jawaban yang kental dengan falsafah ilmu. Akhirnya, para pembaca pun akan merasa puas dan seakan-akan berada pada posisi seseorang yang sedang berdialog.
Terkhusus dalam masalah gaib yang dalam al-Quran divonis tidak akan pernah terungkap, namun kemudian menurut sementara orang bisa diungkap dan bahkan sangat tampak jelas, juga dikupas dengan sangan jelentereh. Khusus di awal kajian ini, al-Buthi terlebih dulu mendefinisikan gaib dan melengkapinya dengan beberapa contoh kekinian.
Baca juga: Panduan Praktis Zakat Fitrah
Setelah itu, dalam buku La Ya’tihil-Bathil min Baini Yadaihi juga dijelaskan Mafatihul-Ghaib-nya, sehingga dapat dibedakan, mana yang benar-benar tidak dapat bisa diungkap sama sekali dan mana yang masih ada celah bagi orang tertentu untuk bisa mengungkap dan menerawangnya, meski sebenarnya mereka tidak sepenuhnya meyakini temuan mereka sendiri dengan penuh kemantapan karena indikasi-indikasi yang mereka jadikan pijakan tidak sepenuhnya akurat.
Nilai apiknya lagi dari buku ini adalah, dalam mendialogkan sebuah masalah yang tengah dibahas selalu menampilkan contoh-contoh kekinian yang sedang diganderungi oleh banyak kalangan. Semisal, USG yang dapat mengungkap jenis kalamin janin, meski sebenarnya tidak jarang salah. Dan tentu, ak-Buthi juga menjelaskan titik kelemahan dari masalah itu.
Sebagai karya manusia biasa, buku La Ya’tihil-Bathil min Baini Yadaihi tetap ada sisi minusnya. Di antaranya, ketika mendialogkan asumsi yang dinilai kurang tepat atau bahkan salah, sering tidak disebutkan orangnya, sehingga para pembaca tidak langsung tahu, siapa oknum yang mengatakan pernyataan miring itu yang mencoba mendekonstruksi teks-teks agama tadi. Selamat membaca!
Peresensi: Achmad Sudaisi
Baca juga: Nilai Islam Wasathiyah Ciptakan Kerukunan Di Indonesia
Baca juga: Resensi