Dalam mendakwahkan kebenaran, hal paling prinsip bagi seorang mujahid Muslim bukanlah jumlah golongan yang banyak ataupun kekuatan fi sik yang dapat menjatuhkan dan menaklukkan objek dakwah. Lebih mendasar dari itu semua adalah kemantapan iman yang tertancap dalam dada mereka. Iman yang membangkitkan girah dakwah islamiah dan menjadi poros keistikamahan, komitmen, ketegasan, dan kesabaran dalam menapaki jalan dakwah. Maka, tidak heran jika dalam catatan sejarah ditemukan ketegaran hati dan jiwa para pejuang tauhid yang tetap teguh menggenggam iman meski dalam keterasingan, meski dengan jumlah golongan dan kekuatan yang serba minimalis.
Kondisi sedemikian bisa disaksikan sejak awal mula pemimpin umat ini dipilih oleh Allah. Setelah wahyu pertama datang kepada Muhammad, Beliau tidak langsung mendakwahkan kabar langit yang ia dapat di gua Hira. Dengan harap-harap cemas Nabi Muhammad menanti turunya kembali wahyu di tempat yang sama. Dalam keadaan bingung itulah kemudian Malaikat Jibril datang kembali membawa wahyu kedua berupa surah al-Mudatsir yang menjadi embrio permulaan dakwah Rasulullah.
Dengan turunnya wahyu kedua itu, mulailah Rasulullah melakukan dakwah secara diam-diam di lingkungan sendiri dan di kalangan rekan-rekannya. Orang pertama yang menerima dakwah Rasulullah adalah keluarga dan para sahabat dekatnya: Siti Khadijah, Ali bin Abi Thalib, Abu Bakar, dan Zaid, bekas budak yang telah menjadi anak angkat Ummu Aiman, seorang pengasuh Nabi Muhammad sejak ibunya, Siti Aminah, masih hidup.
Kondisi serba terbatas itu terus berlanjut berbarengan dengan girah dakwah islamiah yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya; sejak zaman Nabi, shahabat, tabiin, tabiit-tabiin hingga saat ini. Namun demikian, dalam kondisi dan situasi tertentu, didapati pula ‘intervensi langit’ dalam proses pertaruhan iman dan penyebaran ajaran Nabi sebagai bentuk ma’unah (pertolongan) bagi mereka yang istikamah dan ikhlas. Semisal diturunkannya tentara malaikat untuk ikut serta dalam perang Badar (2 H); munculnya mendung dan turunnya hujan ketika pasukan Islam yang dipimpin Sayidina Khalid tertimpa kekeringan saat hendak menaklukkan Persia (12 H); mengalirnya—kembali— sungai Nil setelah disurati oleh Sayidina Umar pada saat penaklukkan Mesir; dan beberapa catatan sejarah yang lain yang terjadi pada zaman shahabat, tabi’in hingga generasi setelahnya (Lebih lanjut bisa dilihat dalam buku Jâmi’u Karamâtil-Auliyâ karangan Syekh Yusuf bin Ismail an-Nabhani).
Masuk dalam frame premis di atas, kisah yang termaktub dalam al-Quran yang menggambarkan sebuah komitmen tauhid luar biasa yang dimiliki oleh sekelompok pemuda yang kemudian dikenal dengan sebutan Ashabul-Kahfi. Kemantapan iman dalam dada mereka tak terusik sedikitpun dengan titah kerajaan dan kondisi dan situasi masyarakat yang menuntut untuk menyembah dan menjadi hamba patung (ashnâm). Keistikamahan para pemuda ini kemudian dijaga oleh Allah dengan ma’unah (pertolongan) eksklusif yang mereka dapat. Kisah tersebut termaktub dalam al-Quran Surah al-Kafhi—nama surah yang mengisyaratkan pada kisah Ashabul-Kahfi itu sendiri.
Dalam surah al-Kahfi, Allah menceritakan lima kisah masa lalu, yaitu kisah Ashabul Kahfi, kisah dua pemilik kebun (Shâhibul-Jannatain), kisah pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, kisah Dzul Qarnain, serta kisah Nabi Adam dan Iblis. Kisah Ashabul-Kahfi mendapat perhatian lebih dengan digunakan sebagai nama surah. Hal ini tentu bukan kebetulan semata, tapi karena kisah Ashabul-Kahfi, seperti juga kisah dalam al-Quran lainnya, bukan merupakan kisah semata, tapi juga terdapat banyak pelajaran (ibrah) di dalamnya.
Ulama menyebutkan kisah Ashabul-Kahfi termaktub dalam al-Quran tidak lebih dari delapan belas ayat (mulai ayat 9 sampai ayat 26) tersusun dari sekitar 328 kata. Ulama mengategorikan kisah ajaib yang terjadi jauh sebelum Nabi Muhammad diutus tersebut ke dalam kisah panjang, sebab barometer pendek-panjang sebuah kisah bukan mengacu pada sedikit-banyak susunan kata yang digunakan atau kadar halaman yang dibutuhkan, begitu juga tidak mengacu pada bermacam-macamnya kejadian yang ditampilkan. Akan tetapi yang menjadi acuan adalah kandungan kata (madlûlâtul-kalimât) dan makna yang terkandung dalam redaksi yang digunakan (ma’ânil-‘ibârât). Dan itulah salah satu i’jâz (daya takluk) yang dimiliki al-Quran; berkisah panjang dengan kalimat singkat, padat, penuh makna.
Ashabul-Kahfi adalah kisah yang tak pernah diketahui oleh Nabi yang terjadi jauh sebelum Beliau diutus. Al-Quran kemudian kembali mengisahkannya melalui wahyu yang diturunkan kepada Nabi dalam surah Al-Kahfi pada masa dakwah di Makkah. Ashabul-Kahfi adalah nama sekelompok pemuda beriman yang hidup pada masa Raja Digyanus di Romawi, beberapa ratus tahun sebelum diutusnya Nabi Isa (menurut satu riwayat, lebih lengkap ikuti terus lanjutan tulisan ini pada setiap edisi). Mereka hidup di tengah masyarakat penyembah berhala dengan seorang Raja yang zalim. Ketika sang Raja mengetahui ada sekelompok orang yang tidak menyembah berhala, maka sang Raja marah lalu memanggil mereka dan memerintahkan mereka untuk mengikuti kepercayaan sang Raja. Tapi Ashabul-Kahfi menolak dan tetap mempertahankan iman mereka dengan cara hijrah dari lingkungan berhala tersebut. Syahdan, dikejarlah mereka untuk dibunuh. Ketika mereka lari dari kejaran pasukan Raja, sampailah mereka di mulut sebuah gua yang kemudian dipakai tempat persembunyian.
Dengan izin Allah mereka kemudian ditidurkan selama 309 tahun di dalam gua, dan dibangkitkan kembali ketika masyarakat dan raja mereka sudah berganti menjadi masyarakat dan raja yang beriman kepada Allah. (Lihat, Tafsîrul-Qurân Al-‘Azhîm: III/67-71). To be continued…
M Romzi Khalik/sidogiri