NAHKODA TAREKAT NAQSYABANDIYAH KHALIDIYAH SUMATERA
Sebagaimana maklum, tarekat Naqsyabandiyah di Nusantara mempunyai dua aliran, yakni tarekat Naqsyabandiyah Muzhariyah dan Naqsyabandiyah Khalidiyah. Aliran pertama berasal dari Syekh Muhammad Muzhar al-Ahmadi, yang juga seorang mursyid tarekat Naqsyabandiyah. Aliran Khalidiyah sendiri berfusi kepada Syekh Dhiyauddin Khalid Kurdi al-Utsmani yang awalnya bernama Naqsyabandiyah Mujaddidiyah.
Tarekat yang terakhir ini dikembangkan oleh ulama besar, Syekh Ismail di ranah Minang, karenanya beliau mendapat julukan al-Khalidi an-Naqsyabandi, sedangkan al-Minangkabawi nisbat kepada tanah kelahirannya. Syekh Ismail al-Khalidi al- Minangkabawi merupakan salah seorang ulama besar Asia Tenggara kelahiran Simabur, Batusangkar. Beliau mendapatkan ijazah sanad tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah dari pengganti Maulana Khalid, yaitu Sayid Abdullah Afandi.
Syekh Ismail merupakan simpul utama sanad keilmuan ulama-ulama Minangkabau abad 19. Santri-santri beliau yang menjadi ulama tersohor di berbagai daerah di antaranya Syekh Abdurrahman Batuhampar Payakumbuh, kakek wakil presiden pertama NKRI, Moh. Hatta, Syekh Muhammad Shaleh Silungkang, Syekh Mushtafa al-Khalidi Sungaipagu, Syekh Muhammad Yatim Padang, Syekh Abdul Halim Labuah Simabur, dan Maulana Syekh Muhammad Thahir Barulak.
Syekh Ismail al-Khalidi mengawali rihlah ilmiahnya dengan mengaji di surau-surau di kampungnya. Beliau mengaji kepada kiai-kiai kampung termasuk juga kepada ayahandanya. Ismail kecil mengaji al-Quran, belajar membaca kitab Arab pego (bahasa Melayu bertuliskan Arab) serta kitab-kitab berbahasa Arab. Sejak usia dini, Syekh Ismail sudah semangat dalam mengaji dan menuntut ilmu kepada guru-guru yang ada di kampung halamannya.
Setelah itu Ismail muda melanjutkan studinya ke luar negeri, tepatnya di dua kota suci umat Islam, Makkah dan Madinah. Di dua kota bersejarah itu, Ismail muda bisa dibilang cukup lama dalam menuntut ilmu. Dalam catatan sejarah, Syekh Islmail menetap di sana hampir 35 tahun. Beberapa bidang keilmuan yang ditekuni oleh Syekh Ismail kala itu seputar ilmu Fikih, Tasawuf, ilmu Kalam, Tafsir, Hadis dan ilmu tata bahasa Arab. Hanya saja di kemudian hari Syekh Ismail lebih terkenal dalam bidang Tasawuf sebab menjadi nakhoda perkembangan tarekat Naqsyabandiyah Khalidiyah di tanah kelahirannya.
Guru-guru yang menjadi labuhan Syekh Ismail saat mendulang ilmu di dua kota suci itu di antaranya Syekh Utsman ad-Dimyathi, Syekh Ahmad ad-Dimyati, Syekh Muhammad Sa’id bin Ali asy-Syafii al-Makki al-Qudsi (wafat 1260 Hijrah/1844-5 M), Syekh Athaillah bin Ahmad al-Azhari (ahli fikih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah asy-Syarqawi (syekh al-Azhar dan ahli fikih Mazhab Syafii), Syekh Abdullah Affandi (tokoh tarekat Naqsyabandiyah), dan Syekh Muhammad bin Ali asy-Syanwani, seorang ahli ilmu Kalam.
Setelah sekian lama menjalani studinya di Makkah dan Madinah, Syekh Ismail balik ke kampung halamannya, di Simabur (Batusangkar). Dari sinilah dimulainya kegiatan dakwah dari sang syekh. Pertama Syekh Ismail membuka sebuah institusi pendidikan berbasis Islam. Kala itu, semua bidang keilmuan, seperti Fikih, Tafsir, ilmu Kalam dan Tasawuf semua diajarkan oleh Syekh Islmail kepada santri-santrinya. Namun kemudian hari, banyak yang tertarik terhadap pelajaran Tasawuf, hingga akhirnya Syekh Ismail membentuk majlis tarekat Naqsyabandiyah yang sudah didapat dari Syekh Abdullah Afandi. Di sinilah embrio pesatnya tarekat Naqsyabandiyah di Sumatera Barat.
|BACA JUGA : SURGA DIBUAT UNTUK SEMUA?
Pada akhirnya tarekat Naqsyabandi yang dibawa oleh Syekh Ismail ini mulai merambah di seluruh kota-kota yang ada di Sumatera Barat dan sekitarnya termasuk Riau, Jambi, Bengkulu, dan Tapanuli Selatan. Berkembangan tarekat Naqsyabandi ini sama seperti berkembangnya tarekat lain yang lebih awal datang di tanah Sumatera, seperti tarekat Syathariyah yang berpusat di Ulakan, Pariaman yang dinakhodai oleh Syekh Burhanuddin Ulakan.
Sebagaimana lazimnya ulama terdahulu yang memiliki banyak karya, demikian juga dengan Syekh Ismail al-Minangkabawi. Di sela-sela kesibukannya berdakwah, mendidik umat, membimbing tarekat Naqsyabandiyah kepada para muridnya, beliau juga meluangkan waktunya menulis beberapa kitab dalam berbagai disiplin ilmu. Hal ini dilakukan demi menjaga khazanah Islam tetap eksis dan tidak lekang dimakan zaman.
Ada beberapa karya yang telah ditorehkan oleh Syekh Ismail. Dalam bidang fikih ada kitab Kifâyatul-Ghulâm fÎ Bayân Arkânil-Islâm wa Syurûthihi dan Risâlatul-Muqâranah al-‘Urfiah yang berisi catatan ringan tentang tata cara niat dalam shalat. Ada juga kitab Al-Muqaddimah al-Kubrâ, yang kandungannya membahas ilmu-ilmu seputar akidah Ahlusunah wal Jamaah secara mendalam. Cetakan pertama oleh Mathba’ah al-Amiriyah, Bulaq, Mesir, tertulis di halaman depan dinyatakan tahun 1309 Hijrah, dan di halaman akhir dinyatakan Rabiul akhir 1310 Hijrah.
Selanjutnya kitab Muqaddimatul–Mubtadiin. Kitab ini juga membahasa seputar akidah dengan pembahasan yang mendalam dan luas. Kemudian ada juga kitab Mawâhib Rabbil-Falaq yang isinya membicarakan tasawuf yang sebenarnya merupakan terjemahan dan penjelasan dari kitab Qashîdah al-’Arif Billâh al-Qadhi Nashiruddin ibni Bintil Milaq asy-Syadzali yang memuat seputar tarekat Syadziliyah. Kitab ini termasuk dalam kategori kitab langka.
Kitab-kitab lain karangan Syekh Ismail adalah Al-Manhal al-‘Adzib, Tarjamah Qashîdah Syekh Abu Bakar al-Bashri (terjamah Arab Melayu), dan Nazham Tawassul li-Ahlit-Tharîqah an–Naqsyabandiyah al-Khalidiyah. Kitab terakhir ini berisi syair-syair seputar cara bertawasul yang harus dilakukan oleh seorang murid yang sudah masuk menjadi bagian dari tarekat Naqsyabandiyah al-Khalidiyah.