Sanad, baik dalam masalah keilmuan maupun dalam periwayatan memiliki urgensitas yang sangat tinggi. Para ulama sejak zaman dahulu, termasuk para tabiin dan para pendiri mazhab banyak yang menekankan pentingnya sanad. Mirisnya, dewasa ini perhatian masyarakat terhadap sanad dan dalam memilih sosok panutan semakin berkurang. Lalu bagaimana menghadapi realita yang demikian? Berikut wawancara Ahmad Sabiq Ni’am dari Sidogiri Media kepada KH. Muhammad Afifuddin Dimyathi, Rais Syuriah PBNU.
Seberapa penting sanad keilmuan dalam pandangan Kiai?
Sanad itu kalau dalam ilmu pengetahuan menurut saya sangat penting, khususnya dalam al-Quran dan Hadis. Kita harus tahu bahwa sanad itu bermacam-macam, tetapi yang jelas sanad itu bagian dari agama. Perbedaan antara agama Islam dengan agama yang lain adalah dari adanya sanad. Kita sering mendengar perkataan Ibnul Mubarak, “al-Isnâd minad-dîn, laulal-isnâd laqâla man syâ’a mâ syâ’a”. Sanad itu bagian dari agama. Kalau tidak ada sanad, orang bisa bebas ngomong apa yang dia mau. Ini yang menjadi ciri khas Islam.
Perhatian orang-orang sekarang terhadap sanad mulai berkurang, tanggapan Anda?
Saya pribadi ketika mengatakan (sanad) itu penting, tetap tidak bisa mengatakan itu wajib, karena setiap orang kecenderungannya berbeda-beda. Memang kita prihatin, banyak orang yang mengabaikan sanad ini, tetapi ketika mereka mau belajar agama, itu
lebih baik daripada tidak belajar. Artinya saya tetap menghargai upaya orang-orang belajar agama meskipun dengan mengabaikan sanad, misalnya. Hanya saja, jika mereka juga memperhatikan sanad, alangkah lebih baiknya hal itu bagi mereka. Ada kata-kata, “man asnada faqad tabarra’a.” Orang yang menyandarkan (pendapatnya), maka dia sudah bebas. Artinya kalau kita berpendapat sendiri tanpa sanad, khawatirnya kita melenceng. Kalau kita sudah mengatakan “ini dawuhnya syekh ini, dawuhnya kiai ini,” minimal kita ini beban dosanya tidak besar.
Apa saja dampak yang akan terjadi ketika sanad sudah tidak diperhatikan lagi?
Kalau sanad tidak diperhatikan, dampak berat yang akan kita alami adalah banyaknya pemikiran-pemikiran nyleneh. Pemikiran-pemikiran baru yang jauh atau mungkin bisa dikatakan menyimpang dari ajaran-ajaran Islam Ahlusunah wal Jamaah, karena orang-orang bebas mau ngomong apa saja yang dia mau. Jadi kita memperhatikan sanad ini maksudnya adalah meminimalkan pendapat pribadi dan meminimalkan kecenderungan hawa nafsu dalam berpendapat, sehingga kita mengutip pendapat para ulama.
Ketika seseorang sudah terbiasa membaca pendapat para ulama, ketika dia dihadapkan dengan permasalahan baru, maka gaya berpikirnya akan menjadi seperti gaya berpikirnya para ulama yang dia kutip.
Kalau tidak terbiasa dengan sanad, maka dia terbiasa berpikir dengan seenaknya sendiri, dan itu dilarang dalam Islam, apalagi berkaitan dengan tafsir. “Man qâla fil-Qur’an bira’yihi fal–yatabawwa’ maq’adahu minan-nâr (barang siapa berpendapat mengenai al-Quran dengan pikirannya sendiri, maka dia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka)”, apalagi berkaitan dengan al-Quran atau Hadis Nabi r “Man kadzaba ‘alayya muta’ammidan fal-yatabawwa’ maq’adahu minan-nar (barang siapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka dia telah menyiapkan tempat duduknya di neraka).” Kalau berkaitan dengan Hadis atau al-Quran, ancamannya adalah neraka. Kalau berkaitan dengan ilmu-ilmu yang lain, maka kaitannya dengan penyimpangan dan akan semakin jauh dari ajaran salafush-shalih.
|BACA JUGA: LGBT DAN KEGILAAN BERJAMAAH
Untuk mengatasi hal ini, apa yang perlu dilakukan oleh orang-orang, khususnya masyarakat pesantren?
Orang pesantren itu sebenarnya bisa dipilah. Ada pesantren salaf dan ada pesantren modern. Pesantren salaf itu tanggung jawab mereka untuk memperhatikan sanad lebih besar dibanding pesantren-pesantren yang lain.
Untuk pesantren yang mendalami agama secara intensif, sebaiknya proses penyampaian sanad itu memang ada. Namun, untuk pesantren-pesantren modern, cukuplah menyandarkan pendapatnya pada gurunya. Cukup dari situ nanti dia tinggal mencari tahu gurunya dari siapa saja.
Sekarang ini banyak yang belajar melalui media sosial, semisal YouTube. Kalau ada seseorang yang menekuni satu ilmu dari satu guru di media sosial, apakah sanad keilmuannya bisa tersambung?
Mengenai hal ini, saya pernah mendengar dawuh-nya Habib Umar bin Hafizh, jika pada saat mengaji hatinya bisa hudhûr dan dengan niat yang ikhlas, tetap bisa dikatakan sanadnya tersambung. Hanya saja, kita tidak bisa menjamin hal itu. Artinya, yang semacam ini tidak bisa diberlakukan secara umum.
Sanad dianggap bersambung itu kalau memenuhi syarat, yaitu hati dan jiwanya ikut hadir menyimak, karena media ini perlu dimanfaatkan dengan baik untuk menambah ilmu pengetahuan. Asalkan itu mengarah pada kebaikan, kenapa tidak kita manfaatkan?
Sekarang PBNU bekerjasama dengan majlis muwâshalah dalam hal mengaji kitab-kitab yang dijelaskan oleh Habib Umar. Kalau berdasarkan dawuh Habib Umar, (pengajian seperti ini) bisa dikatakan sanad ngaji langsung kepada beliau. Kita terbuka saja, jangan dibatasi. YouTube boleh, karena itu sarana dakwah.
Dalam memilih guru, sosok yang layak untuk dijadikan panutan dan diambil ilmunya?
Kalau mencari guru di media sosial, pertama, harus mengetahui track record-nya (rekam jejaknya). Maksudnya, kita tahu al-jarhu wat-ta’dîl-nya kalau dalam ilmu Hadis. Beliau siapa, dulu dari mana, ngajinya di mana. Kedua, melihat aspek keilmuannya. Ketiga, tahu bagaimana etika dan perilaku beliau, baik itu di media sosial atau di dunia nyata. Kalau memang sudah jelas bahwa beliau itu orang baik dan mengamalkan ilmunya, maka bisa diikuti. Kenapa demikian? Karena ada orang yang ketika di media sosial itu tidak bisa menahan emosi. Semisal kalau ada komentar, dia mudah emosional dan marah-marah, tetapi di dunia nyata dia baik. Ada juga yang di dunia nyata tampak tidak peduli, tetapi ketika di media sosial tampak ramah. Hal-hal demikian ini yang harus dijadikan sebagai sarana untuk menilai.
Sebenarnya tidak baik juga menilai guru, tetapi ini untuk memilih guru yang benar-benar bisa dijadikan panutan. Kalau memang sudah terkenal baik, maka tidak perlu lagi dicari alasan-alasannya, atau dicari tahu dari mana-dari mananya, langsung bisa diikuti. Jadi pembahasan ini maksudnya mengarah pada orang-orang yang masih belum dikenal.