Kurang lengkap rasanya bagi para pelancong yang kebetulan menyusuri Surabaya, kota Metropolitan Jatim, jika tak mampir ke Taman Bungkul. Tentu saja, karena taman ini menjadi yang paling populer setelah berhasil mengharumkan Indonesia dengan mendapatkan Asian Townscape Award pada tahun 2013 oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) di Jepang. Sehingga, sejak saat itu, taman tersebut sepertinya telah menjadi jantung kota Surabaya.
Sebagai salah satu kota besar di Jatim, Surabaya mengalami tingkat polusi yang cukup tinggi. Karenanya, keberadaan Taman Bungkul yang telah diperkaya dengan hijau-hijauan berfungsi meminimalisir hal tersebut. Taman yang berdiri di area seluas 900 m² dan telah diresmikan tepat pada tanggal 21 Maret tahun 2007, berlokasi di Jalan Raya Darmo, tak jauh dari lokasi Kebun Binatang Surabaya dan Stasiun TV9.
Akan tetapi, hal terpenting atau titik poin pembahasan kali ini bukanlah soal Taman Bungkul itu sendiri, melainkan tentang makam seorang tokoh yang melatarbelakangi munculnya nama Bungkul. Benar sekali, ada relasi kuat antara Taman Bungkul dan tokoh yang dimakamkan di sana yang tak lain adalah Sunan Bungkul.
Saat kru Sidogiri Media mencoba mengumpulkan data dengan menyurvei lokasi dan konsultasi langsung dengan bidang ahli, ternyata berakhir pada kesimpulan bahwa kisah Sunan Bungkul sampai saat ini masih belum terpecahkan, penuh kontroversi. Bahkan, Pak Towil, salah satu juru kunci makam Sunan Bungkul tidak bersedia bercerita panjang lebar. Alasannya adalah buku sejarah kuno yang menjelaskan tentang asal-usul Sunan Bungkul ditulis dalam bahasa Belanda dan Jawa tulen. Sampai saat ini, buku tersebut masih dalam proses penerjemahan dan belum rampung. Sedangkan di lain sisi, tersebar sejarah Sunan Bungkul dengan berbagai versi. Jadi, dia pun tak yakin dengan kisah yang sebenarnya.
Sosok Sunan Bungkul hingga kini masih menyimpan misteri. Sulitnya menemukan sosok ini bahkan dibenarkan sejarawan mendiang Godfried Hariowald von Faber pada bukunya Oud Soerabaia (1931). Konon, orang-orang tua melarang menceritakan apa pun tentang Bungkul ini. Barang siapa melanggarnya maka akan mendapatkan celaka.
Akan tetapi, nama Ki Ageng Bungkul sempat ditemukan di dalam “Babad Ampel Denta” terbitan 2 Oktober 1901 yang naskah aslinya masih tersimpan di Yayasan Panti Budaya Yogyakarta. Selain itu, juga disinggung di “Babad Risakipun Majapahit Wiwit Jumenengipun Prabu Majapahit Wekasan Dumugi Demak Pungkasan” yang disimpan di Perpustakan Rekso Poestaka Surakarta.
Yang jelas, Sunan Bungkul merupakan tetua desa Bungkul yang hidup sekitar 600/700 tahun yang lalu. Beliau memiliki nama asli Ki Supo Mandagri/Ki Ageng Supo/Empu Supo. Setelah memeluk Islam, namanya kemudian berganti menjadi Ki Ageng Mahmuddin. Karena tinggal dan wafat di kawasan Bungkul, beliau dikenal dengan sebutan “Sunan Bungkul”.
Dalam suatu versi cerita, Sunan Bungkul merupakan spesialis pembuat keris (empu) dari Tuban yang semula dimintai oleh Prabu Kertabhumi (Brawijaya V) dari Kerajaan Majapahit untuk membuatkan sebilah keris. Keris buatan Ki Supo juga dikagumi oleh Raja Brawijaya hingga Adipati Blambangan. Akan tetapi, pada saat pembuatan keris yang terakhir untuk pesanan Sang Prabu Brawijaya, rupanya kurang berkenan di hati Raja Majapahit tersebut. Ki Supo yang merasa tugasnya telah selesai kemudian kembali pulang ke Tuban. Di perjalanan, beliau tertarik pada tempat Bungkul hingga akhirnya menetap di tempat tersebut sampai dengan wafatnya.
Dalam versi lain, Sunan Bungkul malah diyakini sebagai keturunan Ki Gede atau Ki Ageng dari Kerajaan Majapahit. Konon, Sunan Ampel diyakini pernah singgah di desa Bungkul setelah berbulan-bulan melakukan perjalanan dengan naik perahu dari Trowulan, Majapahit, saat tengah menyusuri Kalimas sebelum menuju ke kawasan Ampel Denta. Sejak saat itu, Sunan Bungkul punya hubungan erat dengan Sunan Ampel, bahkan turut serta membantu Sunan Ampel dalam menjalankan proses Islamisasi di wilayah Surabaya.
Karena hubungan dekat itulah, ada riwayat yang menyebutkan bahwa Sunan Bungkul merupakan guru spiritual Sunan Ampel. Bahkan, Sunan Bungkul menikahkan Sunan Ampel dengan salah satu putrinya, Dewi Warda. Namun, dalam beberapa riwayat lain yang cukup kuat, orang yang mempersunting putri Sunan Bungkul, Dewi Warda, bukanlah Sunan Ampel melainkan salah satu murid Sunan Ampel yaitu Raden Paku (Sunan Giri). Padahal, pada waktu yang sama, Raden Paku akan dinikahkan dengan putri Sunan Ampel, Dewi Murtasiyah.
Meskipun sosok sebenarnya Sunan Bungkul masih misterius, tapi yang pasti beliau adalah orang shalih, pejuang Islam yang namanya telah disejajarkan dengan tokoh perjuangan Islam tingkat lokal seperti Syekh Abdul Muhyi di Tasikmalaya, Jawa Barat, Sunan Geseng di Magelang, Sunan Tembayat di Klaten, Ki Ageng Gribig di Klaten, Sunan Panggung di Tegal, Jawa Tengah, dan Sunan Prapen di Gresik, Jawa Timur serta wali-wali lokal lainnya di Nusantara. Dan juga, bukti keshalihannya nampak dari kekeramatan makamnya yang sampai saat ini tidak pernah sepi dari para peziarah setiap harinya.
Ali Wafa Yasin/sidogiri