Usai Perang Diponegoro (1825-1830), pemerintah kolonial Hindia Belanda berada di ambang kebangkrutan. Akibat perang yang menguras kas negara itu, gubernur jenderal Hindia Belanda ke-43, Johannes van den Bosch (1830-1834) menggangas Cultuurstelsel (tanam paksa) untuk mengisi kas dan menutup defisit anggaran pemerintah. Sistem sewa tanah (landrent) yang diciptakan Thomas Stamford Raffles (1813-1816) pun tidak lagi diberlakukan.
Sistem tanam paksa berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama desa tersebut. Dengan mengikuti tanam paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanah nya. Bila pendapatan desa dari penjualan komoditi itu kurang dari pajak tanah yang mesti dibayar, maka desa itu harus membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain.
Aturan Cultuurstelsel mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanah nya (20%) untuk ditanami komoditi laku ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah ditetapkan. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebunkebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Kenyataannya peraturan itu tidak berarti karena hampir seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktik Cultuurstelsel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian.
Sistem tanam paksa diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 s.d 1835. Menjelang tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Pemerintah kolonial pun memobilisasi lahan pertanian, kerbau, sapi, dan tenaga kerja yang serba gratis. Komoditas kopi, teh, tembakau, tebu, yang permintaannya di pasar dunia sedang melambung, dibudidayakan.
Akibat tanam paksa ini, produksi beras semakin berkurang, dan harganya pun meningkat tajam. Pada tahun 1843, muncul bencana kelaparan di Cirebon, Jawa Barat. Kelaparan juga melanda Jawa Tengah, tahun 1850.
Setelah mendapat protes keras dari berbagai kalangan di Belanda, Cultuurstelsel dihapus pada 1870, meskipun untuk tanaman kopi di luar Jawa masih terus berlangsung hingga 1915.
***
Bagi pemerintah kolonial Hindia Belanda, sistem ini sangat berhasil. Sebab, antara tahun 1831-1871 Batavia tidak hanya bisa memodernisasi pembangunan kota metropolitan yang maju, melainkan punya hasil bersih 823 juta gulden untuk kas di Kerajaan Belanda. Biasanya, anggaran penerimaan kerajaan hasil kiriman dari Batavia saja berkisar 30%. Pada 1860-an, 72% penerimaan Kerajaan Belanda disumbang dari Oost Indische atau Hindia Belanda. Langsung atau tidak langsung, Batavia menjadi sumber modal. Misalnya, untuk membiayai kereta api nasional Belanda yang serba mewah. Kas kerajaan Belanda pun mengalami surplus.
Akibat sistem yang memakmurkan dan menyejahterakan negeri Belanda ini, Van den Bosch selaku penggagas dianugerahi gelar Graaf oleh raja Belanda, pada 25 Desember 1839, tepat 177 tahun silam.
Gula dan Mi Instan, Alat Eksploitasi Ekonomi
Dari aspek lain, sekarang kita kaji gula sebagai alat eksploitasi ekonomi yang membuat Kerajaan Belanda menjadi kaya raya, sementara kaum pribumi justru menderita kelaparan.
Semula gula tidak begitu populer dalam tradisi pangan orang Indonesia. Akan tetapi, setelah keuangan Hindia Belanda terkuras akibat Perang Diponegoro, timbul ide untuk menciptakan sumber keuangan baru dengan memaksa penduduk Jawa untuk memproduksi gula. Caranya, areal sawah masyarakat dipaksa agar ditanami tebu. Tebu itu dikirim ke pabrik-pabrik gula yang dibangun oleh Belanda dan sebagian juragan China.
Van Den Bosch memerintahkan agar daerah Jawa Timur dan Jawa Tengah menanam tebu. Sedangkan Jawa Barat, terutama Priangan, menanam kopi dan teh.
Selama 40 tahun Cultuurstelsel, di Jawa Tengah dan Jawa Timur telah berdiri 100 pabrik gula. Sejuta petani tebu dan 60.000 buruh pabrik terlibat dalam tanam paksa tersebut. 70% areal pertanian digantikan dengan tebu. Dampaknya, terjadi banyak kelaparan karena kelangkaan beras.
Akibat melimpahnya tebu dan kurangnya tanaman lain, semua makanan memakai air tebu. Dalam waktu singkat, cita rasa dan tradisi makanan penduduk Jawa Timur dan Jawa Tengah berubah menjadi serba manis. Terdapat pemaksaan sistematis agar orang Jawa berkembang menjadi konsumen gula untuk menambah pasar gula yang ada.
Sejak itulah, cita rasa masakan Jawa Timur dan Jawa Tengah terdapat unsur gulanya. Berlainan dengan Jawa Barat dan daerah lain. Dari sini menjadi jelas, bahwa tradisi pangan dari gula terkait erat dengan penjajahan.
Mi instan juga tidak jauh beda. Ia mulai hadir pasca krisis G30S/ PKI dan seiring berdirinya Orde Baru. Idenya tidak jauh beda dengan gula: menciptakan sumber pangan sekaligus sumber pemasukan keuangan dengan karakteristik massal. Bedanya, pelakunya adalah seorang imigran China beragama Katolik Roma, Liem Soei Liong alias Sudono Salim, tangan kanan bisnis Soeharto.
Supermi adalah merek pertama yang lahir, kemudian diproduksi Sarimi. Setelah itu, muncul Indomie. Ketiganya dikelola oleh Indofood Sukses Makmur, yang berada di bawah naungan Salim Group milik Liem Soei Liong.
Secara perlahan, tradisi pangan masyarakat Indonesia bergeser. Indomie sebagai merek terkenal, dipersepsikan sebagai makanan pokok yang murah dan gampang bagi masyarakat untuk pengganti nasi.
Celakanya, bahan dasarnya adalah gandum yang diimpor, terutama dari Australia. Dengan demikian, semakin dikampanyekan makan mi terhadap masyarakat, maka semakin tergantunglah Indonesia terhadap impor gandum. Sedangkan Indofood sendiri menikmati dua keuntungan: ketergantungan konsumen kepada mi instan produk Indofood, juga ketergantungan produsen gandum seperti Australia kepada Indofood.
Indofood memproduksi lebih dari 13 miliar bungkus pertahun dengan nilai Rp 31,74 triliun. Untuk kampanye makan mi melalui iklan, selama kuartal I tahun 2015, menurut riset AC Nielsen, Indofood membelanjakan Rp 241,2 miliar!
Sementara itu, pada 2013-2014, volume impor gandum Indonesia mencapai 7,4 juta ton atau setara US$3 miliar. Untuk menghasilkan satu juta ton tepung terigu dibutuhkan impor gandum sebesar 7 juta ton. Penyerapan tepung terigu terbesar adalah produsen mi yang mencapai 55%, disusul produsen roti sebanyak 22%, dan biskuit 18%.
Dari berbagai sumber.
Moh. Yasir/sidogiri